GELORA.CO - Ketua DPP PDI Perjuangan Djarot Saiful Hidayat mempertanyakan keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang melakukan mencopot kader PDIP Yasonna H Laoly dari jabatan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham).
Hal ini setelah Presiden Jokowi melantik Supratman Andi Agtas sebagai Menkumham pengganti Yasonna H Laoly.
"Apakah Pak Yasonna di reshuffle, padahal kabinet kurang dua bulan itu karena alasan strategis terkait efektivitas pemerintahan atau karena alasan politis," kata Djarot di kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Senin (19/8).
Djarot menduga, Yasonna ditegur oleh Presiden Jokowi atas perpanjangan kepengurusan DPP PDIP. Sebab, pengesahan perpanjangan kepengurusan partai membutuhkan surat keputusan (SK) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
"Karena Pak Yasonna mungkin ditegur, karena tidak meminta persetujuan kepada presiden atas pengesahan perpanjangan kepengurusan DPP Partai kemarin," ucap Djarot.
Selain itu, digantinya Yasonna Laoly apakah menghadiri pencalonan Eddy Rahmayadi sebagai calon gubernur Sumatera Utara (Sumut). Mengingat, menantu Presiden Jokowi juga merupakan bakal calon gubernur Sumut.
"Kedua, apakah Pak Yasona diberhentikan karena sebagai kader partai beliau kemarin mengikuti acara deklarasi di Medan yaitu deklarasi untuk mencalonkan Eddy Rahmayadi," ungkap Djarot.
"Ketiga, apakah kita di dalam rapat reshuffle kabinet itu tidak dibatasi atau tidak berpikir adanya etika pemerintahan," sambungnya.
Ia pun mempertanyakan, apakah reshuffle kabinet ini merupakan hasil keputusan antara Presiden Jokowi dengan Presiden RI terpilih Prabowo Subianto. Mengingat, Prabowo tidak hadir dalam acara pelantikan di Istana Negara, Jakarta, pagi tadi.
"Kita juga mempertanyakan apakah reshuffle kabinet itu juga hasil dari Pak Jokowi dengan presiden terpilih yaitu Pak Prabowo? Karena kita lihat tadi Pak Prabowo tidak menghadiri acara pelantikan dan pengambilan sumpah ya, reshuffle tadi pagi saya melihat beliau tidak hadir," cetus Djarot.
Djarot curiga, reshuffle kabinet di ujung pemerintahan ini merupakan upaya Jokowi untuk mengontrol pemerintahan berikutnya.
Ia menekankan, reshuffle meski hak prerogatif presiden, tetapi terdapat etika pemerintahan.
"Kami anggap bahwa ini merupakan suatu peristiwa politik dan menjadi event atau kesempatan dari Pak Jokowi untuk mengkonsolidasi kekuasaannya, kekuatannya dalam rangka mengontrol atau mendesak orang-orang pada pemerintahan yang akan datang," pungkas Djarot.
Sumber: jawapos