GELORA.CO - Keputusan Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) menyewa seribu unit mobil untuk mengangkut tamu negara dan very very important person (VVIP) saat peringatan HUT ke-79 RI di Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur (Kaltim), banjir kritikan.
Pakar Kebijakan Publik dan Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat (ANH) menyebut, langkah Kemensetneg itu, hanya menghamburkan uang negara. Kepentingannya sekedar perayaan yang terlalu ambisius dari presiden.
Dia meyakini, biaya sewa seribu unit kendaraan yang harus ditanggung negara, angkanya cukup jumbo. Apalgi, biaya sewanya naik gara-gara mobilnya didrop dari luar Pulau Jawa.
"Sewa 1.000 unit mobil dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk Surabaya, Jakarta, Sidoarjo, Semarang, Solo, Makassar, Bali, dan Palu, bukanlah langkah bijak dalam konteks ekonomi saat ini," kata ANH, Jakarta, Selasa (6/8/2024).
Pengeluaran besar-besaran untuk mobilitas tamu VVIP ini, menurut ANH, tidak proporsional dengan kondisi ekonomi negara yang sedang berjuang pulih pasca pandemi COVID-19.
Setiap unit mobil membutuhkan biaya pengiriman Rp13 juta, menambah beban biaya untuk sewa mobil. "Harga sewa mobil yang melonjak hingga 100 persen dari harga normal menunjukkan adanya inflasi biaya yang tidak terkendali," kata ANH.
Sebut saja, biaya sewa Toyota Fortuner yang biasanya dibanderol Rp2,5 juta melejit menjadi Rp5 juta per hari. Atau Toyota Alphard yang tarif sewa biasanya Rp7 juta melonjak menjadi Rp25 juta per hari.
"Lonjakan harga ini memperlihatkan adanya ketidakseimbangan antara permintaan dan ketersediaan unit mobil, yang seharusnya dapat diantisipasi oleh pemerintah melalui perencanaan yang lebih matang," ungkapnya.
Keputusan ini, ungkap ANH, tidak hanya membebani keuangan negara, namun juga menunjukkan tidak adanya sensitivitas terhadap perekonomian masyarakat. Saat ini, banyak kelompok menengah yang turun kelas menjadi hampir menengah. Akibat melemahnya daya beli mereka.
"Saat ini, situasinya banyak warga berjuang untuk pulih dari kesulitan ekonomi akibat pandemi, rakyat kebingung cari nafkah karena kehilangan pekerjaan, pengeluaran sebesar ini untuk acara seremonial dianggap sebagai bentuk ketidakadilan dan pemborosan," ungkapnya.
Kelas Menengah Jatuh Miskin
Eks Menteri Keuangan era SBY, Chatib Basri mengungkap sejumlah data tentang kelompok menengah di Indonesia yang cukup bikin jeri. Mengutip data Bank Dunia, jumlah warga kelas menengah di Indonesia mencapai 23 persen dari total penduduk.
Setahun kemudian jumlahnya susut menjadi 21 persen seiring membengkaknya kelompok menengah bawah yang rentan miskin alias aspiring middle class (AMC), dari 47 persen menjadi 48 persen.
"Kecenderungan ini terus terjadi. Pada 2023, kelas menengah turun menjadi 17 persen. Sementara AMC naik menjadi 49 persen, kelompok rentan meningkat menjadi 23 persen. Artinya sejak 2019, sebagian dari kelas menengah mengalami penurunan kelas menjadi AMC. Sedangkan kelompok AMC turun menjadi kelompok rentan," tutur Chatib.
Dengan garis kemiskinan 2024 sekitar Rp550.000, lanjut Chatib, masyarakat yang pengeluaran Rp1,9 juta-Rp 9,3 juta per bulan, masuk kategori menengah.
Sedangkan AMC adalah kelompok dengan pengeluaran 1,5-3,5 kali garis kemiskinan atau setara Rp825.000-Rp1,9 juta. Kelompok rentan miskin jika pengeluarannya 1-1,5 kali garis kemiskinan, atau setara Rp550.000-Rp825.000 per bulan.
Saat ini, kata Chatib, kelas menengah di Indonesia sangat tertekan dengan kenaikan harga bahan pangan. Berdasarkan data Mandiri Spending Index (MSI), porsi pengeluaran untuk groceries atau bahan makanan, meningkat dari 13,9 persen pada Januari 2023, menjadi 27,4 persen dari total pengeluaran pada Juli 2024. "Semuanya karena itu tadi, lonjakan harga bahan pangan," imbuhnya.
Chatib menjelaskan, secara sederhana data tersebut dapat dipahami bahwa ketika pendapatan masyarakat turun, mereka tetap mempertahankan konsumsi pokok, seperti makanan.
Jika pendapatan menurun, namun konsumsi makanan tetap, konsekuensinya pengeluaran totalnya meningkat.
"Hukum Engel mengajarkan: semakin rendah pendapatan seseorang, semakin besar porsi konsumsi makanan dalam total pengeluaran. Itu sebabnya, kenaikan porsi makanan dalam total belanja, mencerminkan turunnya daya beli," imbuh Chatib.
Salah satu penyebab tingginya pengeluaran adalah lonjakan harga pangan, terutama beras. Harga beras terus merangkak naik sejak akhir 2022 dan terus mencetak rekor tertingginya.
Di tengah sulitnya kelompok menengah untuk memenuhi kebutuhan pangan, pemerintah malah foya-foya demi pembangunan IKN. Termasuk menggelar upacara HUT ke-79 RI di IKN, Kaltim.
Sumber: inilah