Setelah Saudi, Giliran Cina Gertak NATO: Jangan Bikin Kacau di Asia!

Setelah Saudi, Giliran Cina Gertak NATO: Jangan Bikin Kacau di Asia!

Gelora News
facebook twitter whatsapp
Setelah Saudi, Giliran Cina Gertak NATO: Jangan Bikin Kacau di Asia!

GELORA.CO - 
Negara-negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) menuding Cina berperan membantu Rusia menyerang Ukraina. Beijing meradang dan mengatakan kepada aliansi tersebut untuk tidak membawa kekacaua ke Asia.

Pernyataan juru bicara Kementerian Luar Negeri tersebut muncul sehari setelah NATO menyebut Cina sebagai “pendukung yang menentukan” perang Rusia melawan Ukraina. Pada Februari 2022, Rusia menyerang Ukraina dengan tudingan bahwa NATO hendak menguatkan kehadiran di negara tetangganya itu.

“NATO membesar-besarkan tanggung jawab Cina terhadap masalah Ukraina adalah hal yang tidak masuk akal dan memiliki motif jahat,” kata juru bicara Kemenlu Cina Lin Jian pada konferensi harian dilansir Associated Press, Kamis (11/7/2024). Dia menegaskan bahwa Cina memiliki sikap yang adil dan obyektif terhadap masalah Ukraina.

Cina telah memutuskan hubungan dengan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya di Eropa terkait perang di Ukraina, dan menolak mengutuk invasi Rusia atau bahkan menyebutnya sebagai tindakan agresi untuk menghormati Moskow. Perdagangannya dengan Rusia telah meningkat sejak invasi tersebut, setidaknya mengimbangi dampak sanksi Barat.

NATO, dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada pertemuan puncak di Washington, mengatakan Cina telah menjadi penggerak perang melalui “kemitraan tanpa batas” dengan Rusia dan dukungan skala besarnya terhadap basis industri pertahanan Rusia.

Lin mengatakan perdagangan Cina dengan Rusia adalah sah dan masuk akal serta berdasarkan aturan Organisasi Perdagangan Dunia.

Dia mengatakan “apa yang disebut keamanan” oleh NATO mengorbankan keamanan negara lain. Cina mendukung anggapan Rusia bahwa ekspansi NATO merupakan ancaman bagi Rusia.

Cina telah menyatakan keprihatinannya mengenai hubungan NATO yang semakin berkembang dengan negara-negara di kawasan Indo-Pasifik. Australia, Selandia Baru, Jepang dan Korea Selatan mengirim para pemimpin atau wakilnya ke KTT NATO pekan ini.

“Cina  mendesak NATO untuk…berhenti mencampuri politik dalam negeri Cina dan mencoreng citra Cina serta tidak menciptakan kekacauan di Asia-Pasifik setelah menciptakan kekacauan di Eropa,” kata Lin.

Tentara Pembebasan Rakyat Cina  berada di Belarus pekan ini untuk latihan bersama di dekat perbatasan dengan Polandia, salah satu anggota NATO. Latihan tersebut adalah yang pertama dengan Belarus, sekutu Rusia, yang menganut sistem satu partai di bawah Presiden Alexander Lukashenko, yang  pro-Rusia. Lin menggambarkan pelatihan gabungan itu sebagai operasi militer normal yang tidak ditujukan pada negara tertentu.

Cina adalah pemain kunci dalam Organisasi Kerja Sama Shanghai, yang mencakup elemen militer kuat yang melibatkan Rusia dan beberapa negara Asia Tengah, India, dan, yang terbaru, Belarus.

Hal ini dipandang tidak hanya menciptakan benteng melawan pengaruh Barat di wilayah tersebut, tetapi juga ketegangan atas meningkatnya pengaruh Cina di wilayah yang dianggap Rusia sebagai halaman belakang politiknya yang terdiri dari negara-negara bekas Uni Soviet, termasuk Belarus.

Awal bulan ini, Putin dan Presiden Cina Xi Jinping menghadiri pertemuan para pemimpin atau pejabat tinggi dari 10 negara SCO di Kazakhstan. Di sana, Putin menegaskan kembali permintaannya agar Ukraina menarik pasukannya dari wilayah yang diduduki Rusia. Ukraina dengan tegas menolak hal itu, bersamaan dengan proposal perdamaian Cina yang tidak menyebutkan pengembalian wilayah Ukraina kepada pemerintah di Kiev.

Cina dan Rusia telah menyelaraskan kebijakan luar negeri mereka untuk menentang Barat, bahkan ketika Rusia semakin bergantung pada Cina sebagai pembeli minyak dan gas yang merupakan bagian terbesar dari perdagangan luar negerinya.

Sebelumnya, Arab Saudi meradang atas tindakan G-7 yang menyita hampir 300 miliar dolar AS aset Rusia yang dibekukan. Negara itu memperingatkan negara-negara Eropa bahwa mereka akan menjual sejumlah surat utang negara di Benua Biru itu sebagai pembalasan atas sanksi tersebut.

Demikian menurut laporan Bloomberg seperti dilansir Middle East Eye,  Selasa (9/7/2024). Ancaman itu disampaikan dari Kementerian Keuangan Arab Saudi pada awal tahun ini ke beberapa negara G-7, ketika kelompok tersebut mempertimbangkan penyitaan aset-aset Rusia yang dibuat khusus untuk mendukung Ukraina.

"Arab Saudi mengisyaratkan utang euro yang diterbitkan oleh Prancis," tulis Bloomberg. Riyadh telah mengkhawatirkan upaya Barat untuk menyita aset Kremlin selama berbulan-bulan. 

Pada April, Politico melaporkan bahwa Arab Saudi, bersama dengan Tiongkok dan Indonesia, secara pribadi melobi UE agar tidak melakukan penyitaan. Ancaman Arab Saudi untuk menjual surat utang negara-negara anggota Uni Eropa dinilai menunjukkan langkah Riyadh unjuk kekuatan dalam memanfaatkan daya ekonomi mereka buat mempengaruhi para pembuat kebijakan di negara-negara barat.

Sumber: republika
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita