GELORA.CO - Dr. Abdul Khoir memberikan keterangan sebagai ahli dalam persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada 26 Juni 2024 lalu.
Adapun, kehadirannya sebagai ahli dalam perkara Nomor 604/G/2023 tersebut, terkait dengan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Nomor 2/MKMK/L/II/2023 yang menyebabkan Prof Anwar Usman kehilangan jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut ahli, tidak diberikannya hak banding kepada Prof Anwar Usman merupakan bagian dari menghalangi hak dalam rangka pembelaan dirinya.
Bahkan yang mendalilkan penemuan hukum (Rechtsvinding/ijtihad) tidak berlaku bagi majelis MKMK.
"Dalil ukuran proporsionalitas dan terobosan atas bentuk sanksi tidak dapat dibenarkan," tegas Abdul Khoir.
Karena, putusan MKMK tidak sebangun atau tidak sederajat dengan putusan Badan Peradilan. Terlebih lagi, soal penafsiran hukum, tentunya menunjuk pada ketiadaan dan ketidakjelasan norma Undang-undang, sehingga membuka ruang penemuan hukum.
"Pengaturan sanksi bagi Hakim Konstitusi telah diatur secara jelas dan tegas. Oleh karenanya tidak dibenarkan untuk melakukan penemuan hukum dimaksud," ungkap ahli.
Ditambahkan Abdul Khoir, pemeliharaan tata hukum positif merupakan hal utama dan salah satunya mendasarkan pada asas legalitas.
"Hal ini sejalan dengan kaidah fiqih mal yatimul wajibu illa fa huwa wajib (sesuatu hal yang menjadi penyempurnaan dari sesuatu yang bersifat wajib, maka hukumnya juga wajib)," urainya.
Dikaitkannya, dengan upaya hukum banding yang dilakukan Anwar Usman pada putusan MKMK, maka hal demikian merupakan upaya hukum banding yang notabene berkedudukan sebagai penyempurnaan dari sesuatu yang wajib.
Pada intinya, sambung Abdul Khoir, objek gugatan perkara nomor 604/G/2023 terkait dengan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/MKMK/L/II/2023 merupakan dasar bagi produk hukum yang mengikuti dan hukum yang diikuti.
"Produk hukum yang mengikuti tentu akan menjadi hilang manakala hukum yang diikuti tidak terpenuhi syarat-syaratnya, Dimana pembentukan MKMK bertentangan dengan UU MD3 karena Prof Jimly masih menjabat sebagai anggota DPD RI," ungkapnya.
Selain itu, secara normatif putusan etik harus mengikuti norma hukum. Oleh karenanya, jelas ahli, Surat Keputusan pengangkatan Suhartoyo sebagai ketua MK yang didasari oleh adanya Keputusan MKMK harus dinyatakan batal demi hukum, atau setidak-tidaknya dapat di batalkan
Karena sesuatu yang dimulai dengan cara yang haram maka hasilnya pun menjadi haram," pungkas Abdul Khoir.
Sumber: jawapos