GELORA.CO - Oknum Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) disebut menerima aliran uang 1,5 persen dari nilai kontrak Rp 10.250.000.000 terkait proyek dugaan korupsi pembangunan jalur kereta api (KA) Besitang-Langsa (BSL).
Hal ini terungkap dalam dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) pada Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan korupsi terhadap proyek yang diduga merugikan keuangan negara Rp 1,1 triliun.
Jaksa menyebut, aliran uang untuk BPK bersumber dari proyek konstruksi BSL-18 yang dikerjakan oleh PT Agung-Tuwe.
Menurut jaksa, uang untuk BPK merupakan commitment fee 10 persen yang diberikan PT Agung-Tuwe kepada Halim Hartono selaku Pejabat Pembuat Komitemen (PPK) jalur KA Besitang-Langsa.
“Pemberian uang dari Sulmiyadi (PT Agung-Tuwe, JO selaku pelaksana BSL-18) kepada Halim Hartono melalui Andri Fitria sebagai bentuk komitmen fee sebesar 10 persen dari nilai kontrak untuk Halim Hartono,” kata jaksa saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu (17/7/2024).
Jelang Pembahasan Akhir RAPBN 2025, Muncul Tambahan Anggaran Belanja Rp 598 Triliun
“Sebesar 1,5 persen untuk Pokja (kelompok kerja), dan sebesar 1,5 persen untuk BPK dengan total sebesar Rp10.250.000.000,” ucap dia.
Dalam perkara ini, Halim Hartono menjadi terdakwa bersama eks Kepala Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Sumatera Bagian Utara, Nur Setiawan Sidik; eks Kepala Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Sumatera Bagian Utara, Amanna Gappa; Tim Leader Tenaga Ahli PT. Dardella Yasa Guna, Arista Gunawan; Beneficial Owner dari PT. Tiga Putra Mandiri Jaya dan PT Mitra Kerja Prasarana, Freddy Gondowardojo.
Perkara ini juga menjerat eks pejabat pembuat komitmen (PPK), Akhmad Afif Setiawan; eks Kasi Prasarana pada Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Sumatera Bagian Utara, Rieki Meidi Yuwana.
Tak hanya tujuh terdakwa, eks Kepala Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Sumatera Bagian Utara, Hendy Siswanto; dan eks Direktur Jenderal Perkeretaapian pada Direktorat Jenderal Perkeretaapian pada Kementerian Perhubungan, Prasetyo Boeditjahjono juga disebut terlibat dalam perkara ini.
Berdasarkan surat dakwaan, Jaksa mengungkapkan bahwa telah dilakukan review desain pembangunan jalur KA antara Sigli–Bireun dan Kutablang–Lhokseumawe–Langsa-Besitang dalam tahap perencanaan.
Padahal, belum dilaksanakan kegiatan pra studi kelayakan (preliminitary feasibility study), studi kelayakan (feasibility study) dan belum ada penetapan trase dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
Jaksa menyebut, eks Kepala Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Sumatera Bagian Utara memerintahkan Kelompok Kerja (Pokja) mengerjakan review desain untuk dikerjakan Tim Leader Tenaga Ahli PT Dardella Yasa Guna, Arista Gunawan.
Arista Gunawan, kata Jaksa, meminjam PT Budhi Cakra Konsultan untuk mengikuti tender kegiatan Review Desain Pembangunan Jalur KA Besitang-Langsa dengan memberikan fee 5 persen.
“Hendy Siswanto dan Abdul Kamal tetap melakukan pembayaran 100 persen kepada PT Budhi Cakra Konsultan walaupun Arista Gunawan tidak menyelesaikan pekerjaan,” papar Jaksa.
“Arista Gunawan memberikan sejumlah uang kepada Dedi Gusman beserta staf Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Sumatera Bagian Utara sebagai commitment fee atas dimenangkannya perusahaan Arista Gunawan dalam kegiatan review desain,” ucap dia.
Lebih lanjut, eks Direktur Jenderal Perkeretaapian pada Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kemenhub, Prasetyo Boeditjahjono juga disebut memerintahkan Nur Setiawan untuk mengusulkan proyek Pembangunan Jalur Kereta Api Besitang-Langsa.
Proyek ini akan dibiayai melalui penerbitan SBSN-PBS TA 2017 ke Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Padahal, masih terdapat persyaratan yang belum terpenuhi untuk bisa membuat proyek tersebut.
Dugaan korupsi yang dilakukan sejak tahap perencanaan, pelelangan, hingga proses pelaksanaan disebut jaksa telah memperkaya sejumlah pihak.
Afif diperkaya sebesar Rp 10.596.000.000, Nur Setiawan Sidik sebesar Rp 3.500.000.000, Amanna Gappa sebesar Rp 3.292.180.000, dan Rieki Meidi Yuwana sebesar Rp 1.035.100.000 dan Halim Hartono sebesar Rp 28.134.867.600.
Kemudian, Arista Gunawan dan PT Dardela Yasa Guna sebesar Rp 12.336.333.490, Fredy Gondowardojo dan PT Tiga Putra Mandiri Jaya sebesar Rp 64.297.135.394, Preseyo Boeditjahjono sebesar Rp 1.400.000.000.
Tidak hanya itu, sejumlah korporasi juga turut diperkaya akibat dugaan korupsi ini dengan total Rp 1.032.496.236.838.
Atas perbuatannya, para terdakwa disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2021 tentang Perubahan atau Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Sumber: kompas