GELORA.CO - Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri, mengkritik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang merugi karena dibebani pemerintah dengan proyek ambisius kereta cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh. Salah satunya, PT Wijaya Karya Tbk. (WIKA) yang sepanjang tahun lalu menelan kerugian hingga Rp 7,12 triliun.
Faisal menilai, proyek kereta cepat ditugaskan pemerintah melampaui kemampuan BUMN. Hal ini berpotensi membuat perusahaan pelat merah satu per satu tumbang. Bila tidak dibereskan, kata dia, permasalahan itu akan berlanjut di era pemerintahan Prabowo Subianto. "Meledak satu-satu,” kata Faisal, ditemui di sebuah hotel di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa, 16 Juli 2024.
Tak hanya Wijaya Karya, Faisal memprediksi PT Kereta Api Indonesia (KAI) juga berpotensi merugi karena proyek sepur kilat senilai Rp 108 triliun itu. Per Januari 2024 lalu, KAI telah memangkas layanan kereta Argo-Parahyangan karena kinerja Whoosh yang tak membaik. “Maksimal lima tahun dia nyerah, kalau lima tahun begini terus,” kata dia. Bila demikian, negara harus mengambil alihnya secara keseluruhan.
Pemaksaan proyek kereta cepat yang melampaui kemampuan BUMN, menurut Faisal, akan menyebabkan pemerintah setiap tahun harus menyuntik modal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tahun depan, 16 BUMN akan disuntik Penyertaan Modal Negara (PMN) senilai total Rp 44,24 triliun.
Direktur Utama Wijaya Karya, Agung Budi Waskito, sebelumnya mengatakan kereta cepat menjadi salah satu faktor penyebab kerugian yang dialami perusahaannya. Sepanjang 2023, perseroan memang merugi karena beban bunga tinggi, namun kerugian WIKA lainnya disebabkan oleh PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI).
PBSI merupakan anak usaha PT Kereta Api Indonesia (Persero) selaku pemilik mayoritas saham PT KCIC, yakni mencapai 60 persen. Namun Wijaya Karya menguasai 38 persen saham PSBI.
Agung mengatakan rugi perseroan akibat membayar penyertaan untuk proyek kereta cepat, sehingga perusahaan harus menerbitkan obligasi yang menambah beban keuangan. Agung mengatakan dari penyertaan yang sudah digelontorkan sebesar Rp 6,1 triliun. “Kemudian yang masih dispute (belum dibayar) sekitar Rp 5 triliun sehingga hampir Rp12 triliun," kata dia saat rapat dengan Komisi VI DPR, Senin 8 Juli 2024.
WIKA mencatatkan kerugian Rp 7,12 triliun pada 2023. Angka itu membengkak 11,86 persen dibanding tahun sebelumnya sebesar Rp 59,59 miliar.
Sumber: tempo