GELORA.CO - Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa baru, terkait penggunaan hasil investasi dana haji untuk memberangkatkan jemaah haji.
Hasil fatwanya adalah menggunakan hasil investasi untuk subsidi ongkos haji hukumnya haram.
MUI meminta pemerintah melakukan perombakan sistem pengelolaan dana haji, supaya memenuhi aspek syariah.
Fatwa MUI bernomor 09/Ijatima Ulama/VIII/2024 itu, berjudul Hukum Memanfaatkan Hasil Investasi Setoran Awal Bipih Calon Jemaah Haji untuk Membiayai Penyelenggaraan Haji Jemaah Lain.
Poin pertama putusan hukum fatwa itu adalah hukum memanfaatkan hasil investasi setoran awal Bipih (biaya perjalanan ibadah haji) calon jemaah haji untuk membiayai penyelenggaraan haji jemaah lain adalah haram.
Kemudian pengelola keuangan haji yang menggunakan hasil investasi dari setoran awal Bipih calon jemaah haji untuk membiayai penyelenggaraan ibadah haji jemaah lainnya berdosa.
Seperti diketahui pengelola dana haji saat ini adalah Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Fatwa MUI tersebut tertuang dalam buku Konsesus Ulama Fatwa Indonesia yang diluncurkan di Jakarta pada Selasa (23/7).
Ketua MUI bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh secara khusus menjelaskan soal fatwa haram untuk memanfaatkan hasil investasi dana haji tersebut.
Dia mengatakan hasil investasi dana haji setiap tahunnya, harus dibagi untuk semua jemaah antri secara rata.
Tidak boleh dipotong sekian dahulu untuk subsidi jemaah tahun berjalan, kemudian sisanya dibagi ke semua jemaah antri.
Sebagai contoh sepanjang 2023 lalu, hasil investasi dana haji oleh BPKH mencapai Rp 10,63 triliun. Kemudian sebanyak Rp 7,45 triliun atau sekitar 70 persen.
Baru sisanya sekitar Rp 3,17 triliun (30 persenan) dibagikan ke seluruh jemaah yang antre.
Skema seperti inilah yang menurut fatwa MUI tersebut diharamkan. Kemudian BPKH selaku pengelola ketiban dosa.
Menurut Asrorun, masyarakat yang setor uang muka pendaftaran haji Rp 25 juta/orang terikat akad wakalah dengan BPKH.
Menyerahkan uang tersebut ke BPKH untuk dikelola.
BPKH selaku pengelola, berhak menerima fee dari pekerjaannya itu.
Asrorun mengatakan. skema yang dibenarkan sesuai syariah adalah, semua hasil pengelolaan dana haji dibagi rata kepada semua jemaah yang antri.
"Untuk pengurang biaya riil haji dari investasi," katanya, Rabu (24/7).
Bukan seperti selama ini, hasil investasi dipotong sampai 70 persen, untuk membiayai keberangkatan jemaah tahun berjalan.
Menurut Asrorun dalam skema itu, ada unsur zalim.
Yaitu BPKH tanpa izin dari semua jemaah, menggunakan dana hasil investasi untuk memberangkatkan jemaah yang berangkat.
Berbeda ketika uangnya dibagikan terlebih dahulu, setelah itu sesuai tabungan yang terkumpul, dipakai untuk mengurangi beban ongkos haji.
Asrorun membuat simulasi sederhana, misalnya setelah dibagi rata setiap tahun jemaah mendapatkan pembagian hasil investasi Rp 1 juta.
Ketika seorang jemaah baru berangkat setelah antri 40 tahun, berarti dia punya tabungan dari hasil investasi sebesar Rp 40 juta.
Ditambah dengan setoran awal Rp 25 juta, berarti tabungan dana hajinya Rp 65 juta.
Ongkos haji riil dipatok Rp 100 juta saat waktunya berangkat.
Maka orang tersebut setor uang pelunasan Rp35 juta.
Skema tersebut berbeda dengan yang berlaku seperti selama ini.
Saat ini semua jemaah yang berangkat di tahun berjalan, mendapatkan nilai subsidi sama rata. Padahal diantara mereka, masa tunggunya berbeda-beda.
Terdapat unsur ketidakadilan dari skema yang berjalan sekarang.
Selain itu Asrorun tidak sepakat dengan istilah subsidi.
Karena yang digunakan untuk mengurangi beban biaya haji itu, adalah hak jemaah sendiri.
"Bukan uang dari APBN. Jadi tidak sepakat dengan istilah subsidi," katanya.
Asrorun khawatir dengan skema sekarang, calon jemaah yang di antrian belakang sudah tidak kebagian hasil investasi.
Karena sudah habis untuk jemaah di antrian awal-awal.
Dia mengatakan salah satu rekomendasi mereka adalah meminta BPKH melakukan perbaikan tata kelola keuangan haji.
Dengan menjadikan fatwa MUI itu sebagai panduan.
Kemudian Presiden dan DPR melakukan perbaikan ketentuan undang-undang untuk menjamin dan melindungi hak-hak calon jemaah haji.
Sementara itu BPKH siap mengikuti aturan dari MUI.
Karena secara prinsip, pengelolaan dana haji harus berbasis syariah.
Anggota BPKH Amri Yusuf mengatakan selama ini skema pembiayaan haji dibagi antara tanggungan jemaah dan pembiayaan dari BPKH.
Tahun 2023 jemaah haji bayar 60 persen dari biaya haji total.
Lalu, sisanya disubsidi dari hasil investasi.
Kemudian untuk skema 2025 nanti, Amri belum mengetahuinya. Karena ada fatwa MUI yang baru keluar.
Dia mengatakan kalau orientasinya keberlanjutan dana haji, beban jemaah harus lebih besar.
Terlebih, setiap tahun beban jemaah akan selalu naik. Sebab harga avtur, nilai kurs, hingga beban biaya lainnya yang ditetapkan pemerintah Arab Saudi.
Sumber: jawapos