Berdasarkan laporan “World Economic Outlook April 2024” yang disusun Dana Moneter Internasional (IMF), Indonesia adalah negara dengan tingkat pengangguran tertinggi di antara enam negara ASEAN pada 2024.
Oleh: Darmawan Sepriyossa
Boleh jadi, karena disebut-sebut ada cacat dalam sanad, ungkapan “Al-wa’d dayn, janji itu utang” bukanlah hadits Nabi SAW seperti sebelumnya banyak kita yakini. Belum lagi tak sedikit pula orang yang tak acuh dengan utang-utangnya. Yang jelas, ingkar janji, dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari (hadits no 33) dan Imam Muslim (hadits no 59), adalah satu dari tiga tanda orang munafik.
Tapi tentu saja, Presiden Jokowi jauh dari tanda-tanda cacat kepribadian seperti itu. Berjanji untuk membuka 10 juta lapangan kerja ketika maju dalam kontestasi Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 lalu, ikrar tersebut kontan ditepatinya. Pada periode pertama kepemimpinannya, bahkan. Setidaknya, menurut catatan Menteri Tenaga Kerja (saat itu), Hanif Dhakiri.
“Penciptaan lapangan kerja selama (kepemimpinan) 4,5 tahun Pak Jokowi itu sudah mencapai 10,5 juta lapangan kerja, dan mayoritas sektor formal," ujar Hanif di sela forum Jejaring Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) tingkat ASEAN, atau ASEAN Oshnet di Yogyakarta, Kamis, 28 Maret 2019. Menurut Menaker yang tak berlanjut di periode kedua kepemimpinan Jokowi itu, setiap tahun pemerintah berhasil mengupayakan terciptanya dua juta lapangan kerja baru.
Memang, dalam artikel mereka yang terbit hari itu, TEMPO sempat menulis,”Sayangnya Menaker enggan menjelaskan secara rinci, angka lapangan kerja baru per tahun dan sektor-sektor yang paling banyak menyumbang lapangan pekerjaan tersebut.”
Terpuruk di ASEAN
Sayangnya, prestasi penciptaan 10 juta lowongan kerja (loker) baru di 4,5 tahun pertama kepemimpinan Jokowi itu tak mampu menghindarkan negara kita menjadi negara dengan tingkat pengangguran paling “nyungsep” di negara-negara ASEAN.
Berdasarkan laporan “World Economic Outlook April 2024” yang disusun Dana Moneter Internasional (IMF), Indonesia adalah negara dengan tingkat pengang-guran tertinggi di antara enam negara ASEAN pada 2024. Prestasi buruk itu muncul setelah IMF mendata tingkat pengangguran (unemployment rate) berdasarkan persentase angkatan kerja atau penduduk berusia 15 tahun ke atas yang sedang mencari pekerjaan.
Menurut data yang diperoleh IMF, Indonesia menempati posisi pertama dalam proporsi jumlah pengangguran di negara-negara ASEAN per April 2024. Indonesia yang berpenduduk 279,96 juta orang itu mencatatkan angka pengangguran terbuka sebesar 5,2 persen. Di bawahnya ada negara yang selalu “panas”, Filipina, dengan 5,1 persen (114,16 juta penduduk); Malaysia: 3,5 persen (33,46 juta penduduk); Vietnam: 2,1 persen (100,77 juta penduduk); Singapura: 1,9 persen (5,94 juta penduduk) dan Thailand: 1,1 persen (70,27 juta penduduk).
Angka itu memang di bawah angka yang dipegang lembaga statistika pemerintah, Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut rilis BPS, 6 Mei 2024, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) RI tercatat 4,82 persen. Setidaknya, dengan angka itu kita masih “nggak jadi ekor-ekor amat” di antara enam negara ASEAN di atas.
Bahkan, dalam angka versi BPS tersebut, angka TPT sebesar 4,82 persen itu tergolong sebuah prestasi. Pasalnya, angka itu turun sebesar 0,63 persen poin dibanding angka TPT Februari 2023. Berdasarkan rilis BPS pada 5 Mei 2023, TPT Indonesia tercatat sebesar 5,45 persen. Angka 2023 itu pun juga lebih rendah sebesar 0,38 persen poin dibandingkan dengan angka Februari 2022. Alhasil, sejatinya tingkat pengangguran terbuka Indonesia, menurut data BPS, terus mengalami penurunan.
Meski demikian, menurut TheGlobalEconomy.com, dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, tingkat pengangguran di Indonesia tergolong cukup tinggi di kawasan. Sebagai perbandingan, negara-negara seperti Kamboja memiliki tingkat yang sangat rendah, yaitu 0,23 persen, dan Thailand di 0,94 persen (angka 2022). Posisi Indonesia dalam pengibaratan TheGlobalEconomy.com,”Kira-kira di tengah hingga ujung atas spektrum dalam tingkat pengangguran terbuka di kawasan ASEAN.”
Persoalan lain yang banyak dipertanyakan publik, mengapa di saat angka pengang-guran kita paling “memble” di ASEAN itu, kita seolah begitu terbuka dengan masuknya tenaga kerja asing (TKA), terutama dari Cina? Mereka umumnya mendominasi proyek smelter yang digalakkan pemerintah beberapa tahun terakhir.
Ditjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kemnaker, mencatat pada 2019 jumlah total TKA ada 109.546 orang. Disebutkan, sebagian besar mereka datang seiring investasi penanaman modal asing.
Namun soal itu pernah dijawab Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, 2021 lalu. Menurut Luhut, banyaknya TKA yang bekerja di tambang dan proyek smelter itu tak lain karena Indonesia masih kekurangan sumber daya manusia terampil. "Sekarang kita tidak mau hanya ekspor raw material, kita mau itu jadi satu kesatuan. Ini kesalahan kita berpuluh-puluh tahun, kita perbaiki. Memang ada kritik awalnya, kenapa nggak pakai tenaga Indonesia? Memang nggak ada,"kata Luhut, seperti dikutip banyak media pada Kamis, 18 November 2021 itu.
Pernyataan Menteri Luhut itu kemudian memang memantik polemik. Karena hal demikian sudah sangat biasa di negeri kita, saya tak tertarik menuliskannya di sini. Kalau menurut John B. Bogart, editor The New York Sun pada akhir abad 19, mungkin tak lagi bisa dianggap berita. “When a dog bites a man, that is not news, because it happens so often.” [ ]