10 Tahun Pemerintahan Jokowi: Warisan Utang Menggunung, Tak Sebanding dengan Pertumbuhan

10 Tahun Pemerintahan Jokowi: Warisan Utang Menggunung, Tak Sebanding dengan Pertumbuhan

Gelora News
facebook twitter whatsapp
10 Tahun Pemerintahan Jokowi: Warisan Utang Menggunung, Tak Sebanding dengan Pertumbuhan

GELORA.CO - 
Eddy Martono tak habis pikir soal lesunya sektor sawit hingga lewat dari separuh tahun 2024 ini. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) ini menceritakan bagaimana pertumbuhan industri sawit belakangan stagnan, bahkan menurun karena penanaman kembali sawit rakyat terlambat dilakukan.

Ditambah lagi dengan adanya kebijakan fiskal seperti pungutan ekspor dan bea keluar masih perlu didorong, menurut Eddy, kian memperburuk kinerja industri sawit ini. Padahal sebetulnya harga komoditas sawit mentah (CPO) di pasar Rotterdam masih di kisaran US$ 850-1.000 per metrik ton. “Artinya harga tidak anjlok,” kata dia saat dihubungi 26 Juli 2024.

Namun hal itu tak lantas menjaga agar realisasi penerimaan pajak penghasilan (PPh) badan industri sawit pada semester satu tahun 2024 adalah Rp 6,8 triliun, turun dibanding semester 1 2023 sebesar Rp 15,6 triliun. Kemerosotan terbesar terjadi di komoditas batu bara yang pada paruh awal tahun ini sebesar Rp 14,2 triliun, dibanding periode sama 2023 yakni Rp 68,1 triliun.

Kementerian Keuangan mencatat total penerimaan PPh badan dari sektor komoditas Rp 73,8 triliun. Dengan demikian, pajak yang dikumpulkan tahun ini diperkirakan mencapai Rp 1.921 triliun dari sasaran 1.988 triliun, atau hanya 96,6 persen dari target APBN. Sehingga anggaran negara diperkirakan mengalami defisit 2,7 persen dari PDB dari target 2,29 persen terhadap PDB.

Defisit anggaran juga membuat pemerintah butuh menarik utang baru, sehingga pinjaman terus membengkak. Soal ini, ekonom senior Faisal Basri mengatakan peningkatan utang tidak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi. “Utang naik, kalau ekonominya tumbuh maka basis penerimaan pajak naik. Ini kan enggak. Pajaknya turun begini,” ujarnya ditemui di Jakarta, Jumat 26 Juli 2024.

Utang Melambung hingga Tembus Rp 8,3 Kuadriliun


Hingga akhir masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo atau Jokowi, utang pemerintah telah menembus Rp 8,3 kuadriliun. Sejumlah ekonom menilai pengelolaan utang tersebut kurang berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi yang stagnan di kisaran 5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Sementara pertumbuhan basis penerimaan pajak masih lesu, bahkan diprediksi tidak mencapai target. 

Defisit anggaran juga makin melebar. Pada 2015, selisih kurang APBN adalah Rp 298,4 tiliun. Awal Juli 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani Keuangan membacakan laporan realisasi APBN paruh pertama telah mengalami defisit Rp 77,3 triliun. Adapun anggaran diperkirakan akan minus Rp 607 triliun hingga akhir tahun. 

Musababnya, belanja negara meningkat, sementara pendapatan negara mengalami kontraksi 6,2 persen dibandingkan semester awal 2023. Adapun pajak berkontribusi paling besar pada pendapatan. Bekas direktur pelaksana Bank Dunia itu mengabarkan penerimaan pajak mencapai Rp 893,8 triliun, atau turun dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 907,2 triliun. 

Kondisi ini disebabkan keuntungan berbagai perusahaan yang merosot akibat gejolak harga komoditas pada 2023. Perusahaan masih untung, namun tidak setinggi tahun sebelumnya. “Karena harga komoditas mengalami koreksi yang sangat dalam,” kata dia di gedung DPR, 8 Juli 2024.

Kementerian Keuangan melaporkan penurunan pajak terbesar terjadi pada pajak penghasilan (PPh) badan terutama pada sub sektor terkait komoditas seperti sawit, logam dan pupuk.

Beban Bunga dari Melonjaknya Utang


Jokowi memulai masa jabatan pada 2014, dengan utang warisan dari Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY sebesar Rp 2.608,7 triliun. Laju kenaikan utang selama satu dekade tercatat cukup pesat. Data APBN terkini yang diterbitkan Kementerian Keuangan memaparkan posisi utang pemerintah sudah mencapai Rp 8.335 triliun per April 2024.

Dalam perjalannya pijaman juga meningkat akibat kebijakan penarikan utang pada pandemi covid-19 di 2020. Utang naik 27,13 persen dari sebelumnya Rp 4.779 triliun menjadi Rp 6.102 triliun.

Melambungnya pinjaman berkorelasi terhadap peningkatan cicilan pokok dan beban bunga utang yang mempersempit ruang gerak fiskal. Akibatnya APBN semakin megap-megap. “Tercermin dari share pembayaran bunga, sekarang saja sudah 20 persen lebih dari total pengeluaran pemerintah pusat,” kata Faisal Basri.

Menyitir laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) 2023 yang sudah diaudit, belanja pembayaran bunga utang mencapai Rp 439,8 triliun. Sementara realisasi pendapatan perpajakan Rp 2.154 triliun. Artinya sekitar 20 persen dari penerimaan pajak negara dipakai untuk membiayai bunga pinjaman.   

Berbeda jika dibanding satu dekade sebelumnya. Realisasi APBN dalam LKPP 2014 mencatat biaya untuk membayar bunga utang sebesar 12 persen dari pendapatan. Saat itu bunga utang yang harus dibayar sebesar Rp 133 triliun dengan pendapatan pajak Rp 1.103 triliun.  

Utang sebetulnya bukan pamali selama digunakan untuk mendorong pembangunan. Namun, Faisal memaparkan, di era Jokowi, pembiayaan dari utang digunakan untuk banyak hal. Termasuk belanja rutin yang memakai porsi besar. Pinjaman selayaknya dipakai untuk program mengentaskan kemiskinan, atau menciptakan lapangan kerja berkualitas.

Dari audit LKPP 2023, anggaran terbesar APBN digunakan untuk transfer ke daerah yakni Rp 881 triliun, diikuti biaya bunga utang. Lalu belanja barang yakni Rp 432 triliun dan belanja pegawai Rp 412 triliun. Peningkatan sumber daya manusia, masih menjadi PR besar yang diwariskan ke pemerintahan selanjutnya. Saat ini indonesia masih tergolong sebagai negara berpenghasilan menengah. Selama satu dekade terakhir, ekonomi Indonesia juga stagnan di kisaran 5 persen. 

Pembiayaan untuk  pendidikan dan kesehatan juga masih kecil. Akibatnya, Fasial melanjutkan, Indonesia masih berkutat pada pertumbuhan manusianya, terlihat dari pemerintah berikutnya yang memasukkan program perbaikan gizi.  “Jadi urusan perut masih belum selesai. Karena bayar bunga melulu,” kata dia.

Pembiayaan capital expenditure, atau biaya untuk manfaat dalam jangka waktu yang panjang dianggap masih sembrono. Akibatnya pinjaman makin naik namun tidak meningkatkan kapasitas untuk membiayai utang tersebut.

Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono mengatakan hal senada. “Pada dasarnya, utang pemerintah dan defisit anggaran adalah counter-cycle policy, yaitu kebijakan yang ditujukan melawan pelemahan perekonomian dengan cara mendorong belanja pemerintah yang memberikan multiplier effect terbesar pada perekonomian,” kata dia.

Seharusnya digunakan untuk pembiayaan seperti belanja modal dan transfer pendapatan ke kelompok miskin. Dengan kata lain, kebijakan defisit anggaran dan pembuatan utang adalah upaya untuk meningkatkan ruang gerak fiskal pemerintah agar dapat memprioritaskan dan menambah alokasi dana ke pos belanja penting yang diinginkan. 

Namun di Indonesia menurut dia terjadi anomali, di mana belanja terikat secara konsisten terus mendominasi pengeluaran negara. Terlepas dari pembuatan utang yang terus dilakukan dan dalam jumlah yang semakin besar. 

Kebijakan utang dan defisit anggaran tidak berimplikasi pada meningkatnya ruang gerak fiskal. Sehingga pengeluaran seperti infrastruktur dan belanja sosial, tidak pernah  meningkat dan dominan. “Belanja publik kita sangat dan terus didominasi oleh belanja terikat, terutama belanja pegawai, belanja barang dan pembayaran bunga utang pemerintah,” kata dia. 

Belanja pemerintah pusat yang terbesar adalah belanja pegawai yang di sepanjang era Presiden Jokowi, 2015-2024, diperkirakan mencapai Rp 3.707 triliun, sekitar 21,3 persen dari total belanja pemerintah pusat. 

Belanja publik terbesar berikutnya di era Presiden Jokowi adalah belanja barang Rp 3.674 triliun yakni 21,1 persen. Lalu ada pembayaran bunga utang Rp 3.067 triliun atau 17.7 persen. Secara keseluruhan, belanja terikat di sepanjang era Presiden Jokowi mencapai Rp 10.448 triliun, atau sekitar 60 persen dari total belanja pemerintah pusat. “Dengan kata lain, hanya tersisa sekitar 40 persen belanja pemerintah pusat untuk belanja infrastruktur dan sosial,” kata dia lagi.

Ruang fiskal tersisa bukan untuk pembangunan infrastruktur, namun untuk subsidi energi dan kompensasi energi (belanja lain-lain). Di era Presiden Jokowi, alokasi untuk subsidi energi dan belanja lain-lain diperkirakan mencapai Rp 2.774 triliun, sekitar 16 persen dari total belanja pemerintah pusat. 

Belanja untuk pembangunan infrastruktur, yaitu belanja modal, di sepanjang era Presiden Jokowi hanya mendapat alokasi di kisaran Rp 2.130 triliun atau 12,3 persen. Alokasi belanja modal, subsidi dan bantuan sosial selalu merupakan residual, bahkan dengan proporsi yang terus menurun. 

Penanda Kerentanan Utang Negara


Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Suminto, mengatakan dalam melihat utang Pemerintah, semestinya tidak hanya dilihat nominalnya, tetapi diletakkan pada konteksnya. Pemerintah melakukan utang untuk membiayai defisit APBN dalam rangka pemenuhan belanja-belanja prioritas. “Untuk kesejahteraan masyarakat dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang kuat, seimbang, dan berkesinambungan,” kata dia kepada Tempo, Ahad, 28 Juli 2024.

Dalam periode pertama pemerintahan Jokowi, yakni 2015-2019, ia mengatakann defisit APBN terjaga rendah. Realisasi defisit APBN di bawah 3 persen terhadap PDB. Kala itu anggaran digunakan untuk belanja prioritas seperti infrastruktur, perlindungan sosial, dan sumber daya manusia seperti pendidikan dan kesehatan meningkat signifikan. “Belanja yang lebih berkualitas dan targeted ini tentunya mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional,” ujarnya.

Sejalan dengan defisit APBN yang terjaga rendah ini, rasio utang terhadap PDB juga menurut dia hanya tumbuh moderat, yakni 27,46 persen pada 2015; 28,34 persen untuk 2016; 29,40 persen 2017; 30,10 persen 2018; dan 30,23 persen pada 2019. 

Pelebaran defisit APBN dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 diakui Suminto berimplikasi pada bertambahnya utang Pemerintah. Rasio utang terhadap PDB pada 2019 masih 30,23 persen, meningkat tajam menjadi 39,39 persen pada 2020 dan 40,74 persen pada 2021.

Adapun debt to GDP ratio per Juni 2024 adalah sebesar 39,13 persen. Meskipun debt to GDP ratio pasca pandemi mengalami kenaikan pada pandemi, namun masih lebih baik dibandingkan banyak negara emerging markets. Bahkan menurut dia, Indonesia masih tergolong rendah.

Level rasio utang pemerintah terhadap PDB saat ini juga dianggap terhitung moderat dibandingkan beberapa negara. Ia mencontohkan data World Economic Outlook IMF pada April 2024, negara seperti Brasil, India, Thailand, dan Filipina masing-masing sebesar 86,7 persen, 82,5 persen, 64,5 persen, dan 56,9 persen terhadap PDB.

“Kami memahami rasio utang terhadap PDB bukan merupakan indikator tunggal dalam melihat utang Pemerintah. Indikator-indikator risiko portofolio utang juga penting untuk dilihat, antara lain terkait risiko nilai tukar, suku bunga, dan pembiayaan kembali (refinancing), “ kata dia.

Suminto melanjutkan, risiko portofolio utang juga dikelola dengan baik. Hingga Juni 2024,  Average Time to Maturity atau rata rata utang jatuh tempo cukup panjang hingga 8 tahun. Ia juga mengakui nominal utang yang besar berdampak pada kenaikan belanja bunga, namun menjamin pemerintah dapat mengelola biaya dan risikonya.

Adapun Yusuf Wibisono, mengatakan rasio utang terhadap PDB dalam batas aman merupakan argumen standar yang selalu diungkapkan. Berdasarkan undang-undang Keuangan Negara yang diadopsi dari konsensus internasional, batas aman rasio utang ditetapkan 60 persen terhadap PDB.

Dengan indikator tersebut, Indonesia dikatakan termasuk negara dengan kinerja utang yang baik. Terutama dibandingkan dengan negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat yang rasio utang terhadap PDB-nya masing-masing telah menembus 200 persen dan 100 persen terhadap PDB. 

Namun indikator rasio utang pemerintah terhadap PDB ini akan menyesatkan bila di saat yang sama kemampuan membayar utang dari pemerintah tidak siperhatikan. PDB baru merupakan potensi penerimaan pemerintah, sedangkan penerimaan pemerintah yang aktual tercermin pada rasio pajak.

Tax ratio Indonesia hanya di kisaran 10 persen dari PDB, sedangkan tax ratio Jepang di kisaran 35 persen dan Amerika Serikat 30 persen dari PDB. “Maka membandingkan rasio utang pemerintah Indonesia secara langsung dengan negara lain tanpa memperhatikan kemampuan membayar utang, menjadi menyesatkan,” kata dia. 

Indikator yang lebih tepat untuk menilai tingkat keamanan utang karena itu bukan rasio utang pemerintah terhadap PDB. Melainkan rasio antara bunga utang dan cicilan pokok utang dengan penerimaan perpajakan, yang mencerminkan pendapatan pemerintah yang sesungguhnya.

Dengan membandingkan biaya dari utang terhadap penerimaan perpajakan, akan terlihat beban utang pada keuangan negara telah berada pada tingkat yang sangat memberatkan. Meski stok utang terhadap PDB masih terjaga. “Karena itu mengancam keberlanjutan fiskal,” kata dia.

Pada 2005-2014, di era Presiden SBY, beban bunga utang dan cicilan pokok utang yang jatuh tempo rata-rata mencapai 32,9 persen dari penerimaan perpajakan setiap tahunnya. Pada 2015-2022 atau era Presiden Jokowi, angka ini melonjak menjadi 47,4 persen. 

Dengan hampir setengah dari penerimaan perpajakan diprioritaskan untuk membayar beban utang, ruang fiskal yang tersisa menjadi sangat terbatas.  Di saat yang sama, proyek strategis nasional seperti IKN dan PSN, seringkali harus dibiayai dengan utang. “Atas nama rakyat kemudian defisit anggaran dilakukan. Pembuatan utang baru menjadi terbenarkan dan bahkan seolah menjadi tugas mulia,” ujarnya.

Adapun Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan utang merupakan tanggung jawab yang selalu dibawa dari pemimpin sebelumnya. Yang terpenting menurut dia adalah pemerintah terus berupaya menjaga agar pembiayaan lancar. “Indonesia tidak pernah telat bayar utang,” katanya ditemui selepas memberikan orasi ilmiah pada kuliah mengenang pemikiran BJ Habibie di Jakarta.

Politikus Partai Golkar itu juga menampik pembiayaan APBN dari penarikan utang yang kurang produktif dan tidak berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Buktinya, ia melanjutkan, Indonesia mempunyai capaian mampu memimpin G20 pada 2022.

Sumber: tempo
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita