GELORA.CO - Presiden Joko Widodo diduga telah melanggar peraturan perundang-undangan dan berpotensi dimakzulkan karena menerbitkan izin usaha tambang untuk ormas keagamaan.
Karena, Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubata bertentangan dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
"PP Nomor 25 Tahun 2024 yang ditandatangani Presiden Jokowi (30/05/24) jelas bertentangan dengan amanah UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020. Dari yang semestinya setiap pemberian IUP melalui lelang, justru dalam PP terbaru ditambahkan dapat diberikan melalui penawaran prioritas (lihat pasal 83a)," kata Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman.
"Jelas dengan melakukan revisi PP yang bertentangan dengan UU, Presiden Jokowi kami anggap telah melanggar Undang Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan," kata dikutip dari keterangan pers, Minggu, 9 Juni 2024.
Dia menjelaskan, di dalam hierarki peraturan perundang-undangan kedudukan hukum UU adalah lebih tinggi dari PP. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 13 Tahun 2022.
"Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU 12/2011 itu, kekuatan hukum UU lebih tinggi dari PP," lanjut Yusri.
Menurut Yusri, tidak sebatas itu saja. Peraturan Pemerintah juga tidak boleh diskriminatif terhadap kelompok masyarakat, tetapi dia harus menjelaskan secara teknis dari Undang Undang di atasnya.
Untuk itu, pilihan potensi impeachment Presiden masuk dalam wilayah wakil rakyat di DPR RI untuk menyikapinya. Kami hanya dapat menggugat produk PP Nomor 25 Tahun 2024 ke Makamah Agung untuk dibatalkan.
"Pengurus CERI telah sepakat menggugat PP Nomor 25 Tahun 2024. Hari Senin 11 Juni 2024 semua penggugat akan menandatangani surat kuasa kepada Dr Augustinus Hutajulu SH, Mkn sebagai pihak yang mendapatkan kuasa untuk menggugat," kata Yusri.
Yusri menjelaskan, muncul pasal baru di dalam PP 25 Tahun 2024, yakni Pasal 83A yang terdiri dari dua poin, yakni (1) Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan; dan poin (2) WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wilayah eks PKP2B.
"Pasal 83 A Poin (1) inilah yang jelas kami pandang telah bertentangan dengan Pasal 75 Undang Undang Nomor 3 Tahun 2020. Dimana disebutkan dalam Pasal 75 ayat (3) bahwa, BUMN dan badan usaha milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK," ungkap Yusri.
Cilakanya lagi, kata Yusri, Pasal 75 Ayat (4) UU Nomor 3 Tahun 2020 menyatakan bahwa Badan Usaha swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk mendapatkan IUPK dilaksanakan dengan cara lelang WIUPK.
"Bagaimana mungkin PP mengatakan WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas padahal UU yang lebih tinggi menyatakan bahwa Badan Usaha swasta untuk mendapatkan IUPK dilaksanakan dengan cara lelang WIUPK?" beber Yusri.
Menyoal alasan pemerintah mau memberikan izin tambang kepada Ormas keagamaan lantaran ingin meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menurut Yusri, uang pembinaan Ormas keagamaan sudah dianggarkan di APBN dan APBD sejak dahulu.
"Mungkin disalurkan melalui Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri dan Pemda dari Provinsi hingga Kabupaten dan Kota, bahkan mungkin di tingkat Kecamatan ada dana pembinaan untuk Ormas keagamaan," kata Yusri.
"Saya saja pada tahun 1980 sebagai Ketua Umum Anak Medan di Jogja, setiap kegiatan besar sering dapat bantuan dari Walikota Jogja dan Dinas P&K Jogja, padahal itu ormas kedaerahan lho, gimana Ormas Keagamaan tingkat nasional yang sangat diharapkan membina umatnya jika tidak disediakan anggaran tentu akan merusak akal sehat kita?," lanjut Yusri.
Ormas Keagamaan Tolak Konsesi Tambang
Sementara itu, heboh pemberian izin tambang kepada Ormas keagamaan, memunculkan berbagai reaksi. Di antaranya penolakan oleh Ormas keagamaan.
"CERI memberikan apresiasi kepada Ormas keagamaan di luar NU yang menyatakan menolak menerima penawaran prioritas izin tambang dari pemerintah berdasarkan PP 25 Tahun 2024 itu.
Penolakan ini dapat diartikan mereka justru telah mengkaji dan memahami peraturan perundang undangan, dan ini justru mempertegas wilayah dan akan bergerak serta bertanggung jawab pada pembinaan umat, agar semakin baik," ungkap Yusri.
Yusri menambahkan, CERI juga mendorong Ormas keagamaan untuk fokus pada pembinaan umat dan tidak ikut tercemar, bahkan sampai dapat merusak nama baik dengan bergelut di bisnis tambang, yang berpotensi dapat merusak lingkungan, apalagi harus diakui banyak wilayah pertambangan terlihat telah merusak lingkungan dan di sering disebut banyak mafianya di berbagai media.
Pernyataan Janggal Menteri LHK Siti Nurbaya
Keluarnya pernyataan Menteri LHK Siti Nurbaya "mendukung pemberian tambang ke Ormas keagamaan ketimbang setiap hari mengajukan proposal", terkesan narasi yang disampaikan seolah-olah mencerminkan adanya ormas yang setiap hari meminta sumbangan. Ini saya nilai sangat janggal.
"Kami mohon Ibu Siti Nurbaya Bakar menyebutkan nama Ormasnya, agar publik paham, atau jangan jangan Ibu telah ditipu oleh staf di bawahnya terkait adanya uang keluar dengan menjual nama Ormas?"
"Kami mohon dijelaskan supaya terang benderang semuanya, kami harap BPK RI dan BPKP RI bisa mengusut dana taktis yang dikeluarkan KLHK," ungkap Yusri.
Tak Dapat Dipidana
Soal penerbitan izin tambang, Yusri Usman mengatakan, menurut keterangan Dr Simon Sembiring, mantan Dirjen Minerba dan arsitek UU Minerba Nomor 4 tahun 2009 kepadanya, Dr Simon Sembiring mengaku terkejut atas hilangnya Pasal 165 UU Nomor 4 Tahun 2009 di Undang Undang Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Pasal 165 UU Nomor 4 Tahun 2009 berbunyi, "Setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah."
"Wah, Bahlil dan Arifin Tasrif tak bisa dipidana katanya," ungkap Yusri menirukan keterangan Dr Simon Sembiring setengah berkelakar.
Berseteru dengan Luhut
Sebagaimana dilansir Majalah Tempo, Luhut menentang ide yang kemudian menjadi kebijakan pemberian izin pertambangan untuk organisasi keagamaan berlandaskan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Bagi Luhut, rencana Bahlil itu bertentangan dengan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara atau UU MInerba.
Perdebatan itu mengantarkan pada Luhut yang menuding Bahlil memiliki konflik kepentingan dalam pemberian WIUPK untuk ormas keagamaan.
Pelepasan PKP2B
Menyoal tambang eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), Yusri mengatakan, sebelumnya relinquish atau pelepasan lahan PKP2B dijadikan sebagai Wilayah Pencadangan Negara (WPN), untuk dapat dijadikan konversi energi dan cadangan ketahanan energi di masa depan.
"Tetapi muncul kebijakan aneh, lahan relinquish (pelepasan) justru akan diberikan kepada Ormas keagamaan. Perkiraan kami jika ini terjadi maka produksi batubara nasional pada akhir tahun 2024 akan mendekati 1 miliar metrik ton per tahun," ungkap Yusri.
Sebab, kata Yusri, berdasarkan Rencana Kerja Anggaran Biaya (RKAB) selama 3 tahun yang dikeluarkan oleh Ditjen Minerba Kementerian ESDM diperoleh jatah produksi tahun 2024 sebesar 922 juta metrik ton, pada tahun 2025 sebesar 912 juta metrik ton dan pada tahun 2026 sebesar 920 juta metrik ton yang merupakan produksi dari 508 IUP dan IUPK batubara, angka itu di luar produksi tambang Ormas keagaamaan jika berjalan. "Edan opo?" ketus Yusri.
"Padahal menurut Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang dibuat oleh Dewan Energi Nasional (DEN) dan dipertegas dalam Perpres Nomor 22 Tahun 2017 bahwa rencana produksi batubara nasional akan dikelola pada level 400 juta metrik ton per tahun dan akan dikurangi secara bertahap dengan meningkatkan porsi energi terbarukan, untuk tujuan menekan emisi gas buang kaca, tetapi faktanya terbalik, kok gak konsisten ya?" tanya Yusri.
Padahal, kata Yusri, diketahui khalayak bahwa Ketua DEN adalah Presiden RI, Ketua Harian DEN adalah Menteri ESDM dan Sekjen DEN adalah mantan Dirjen Migas Kementerian ESDM.
Indonesia Cemas, Bukan Indonesia Emas
Lebih lanjut Yusri mengutarakan ia setuju dan memberi apresiasi kebijakan Mantan Menteri Lingkungan Hidup A Sonny Keraf, yang juga merupakan Ketua Tim DPR RI saat pembahasan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba, sedang wakil dari Pemerintah waktu itu tak lain adalah Dirjen Minerba Dr Simon Sembiring.
"Kalau IUP Eksplorasi otomatis menjadi IUP OP, termasuk Ormas keagamaan, maka yang terjadi produksi batubara nasional akan pada level 1 milyar metrik ton."
"Dengan cadangan 35.5 milyar metrik ton (2022-badan geologi) dan belum lagi dikoreksi atas harga, infrastruktur, kedalaman dan hilangnya akibat pengurangan overburden, distance terhadap keekonomian, maka saya yakin rasio produksi nasional sebatas 25 tahun sudah bagus," beber Yusri.
Menurut Yusri, ia setuju dengan pendapat Sonny Keraf bahwa nasib produksi batubara akan sama nasibnya dengan industri minyak bumi. EBT (Energi Baru Terbarukan) belum berhasil karena BPP (Biaya Pokok Produksi) masih tinggi.
"Atas dilema energi itu, kita akan pusing dan terjebak dengan kebijakan sendiri yang salah, daya jangkau masyarakat belum mampu diangkat untuk membayar harga listrik EBT. Akhirnya bukan “Indonesia Emas” yang terbangun tapi bisa terjadi “Indonesia Cemas”," ungkap Yusri.
Jokowi Harusnya Revisi UU Minerba, Bukan Terbitkan IUP Tambang
Sebelumnya, menyangkut organisasi kemasyarakatan (Ormas) bisa mendapat Izin Usaha Pertambangan (IUP) melalui perusahaannya, Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara ini tidak perlu ada.
Sebab, UU Nomor 3 Tahun 2020 sudah menyebutkan bahwa IUP bisa diberikan kepada perorangan, koperasi atau badan usaha berbadan hukum.
"Jadi UU itu sendiri sudah memberikan kemungkinan berusaha bagi setiap perusahaan yang berbadan hukum. Jadi kalau Ormas punya perusahaan berbadan hukum, otomatis berhak mengajukan IUP. Oleh sebab itu, menurut kami PP ini hanya tipu menipu penguasa kepada Ormas."
" Barangkali seolah-olah memberi imbal jasa atas dukungan politik yg berkuasa?," ungkap Mantan Dirjen Minerba Dr. Simon F Sembiring, Sabtu (1/6/2024) di Jakarta.
Simon mengungkapkan, tentang membuka peluang bagi PT Freeport Indonesia (PTFI) dan lainnya untuk diperpanjang sampai dengan habis cadangannya, ini juga menyalahi UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020.
"Harusnya UU yang dirobah, bukan PP. Cadangan tidak pernah tahu keseluruhan pada masa 8 tahun eksplorasi pertama. Jadi masa produksi 30 tahun sudah cukup alasan, tidak ada keharusan memperpanjang! Kalau eksplorasi pada saat masa produksi, itu menjadi investasi yang dapat dikonsolidasi jadi cost/biaya sehingga bisa mengurangi profit yang berakibat mengurangi pajak alias mengurangi penerimaan negara," beber Simon.
Demi Mengakomodir Kepentingan Freeport
Mantan Dirjen Minerba Dr Simon Sembiring menegaskan, jika disimak secara mendalam PP 25/2024, pada Pasal 109 ayat (3) dan (4) tentang IUPK, BUMN atau anak perusahaan BUMN memohon perpanjangan diajukan kepada Menteri paling cepat dalam jangka waktu lima tahun atau paling lambat dalam jangka waktu satu tahun sebelum berakhirnya jangka waktu operasi produksi.
"Bandingkan dengan Pasal 195B. Ini betul mengakomodir PT Freeport Indonesia (PTFI). Baca ayat(1), ayat (2) dan ayat (3). Khusus ayat (3), permohonan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Menteri paling lambat 1 (satu) tahun sebelum berakhirnya jangka waktu kegiatan operasi produksi," ungkap Simon.
Berarti, kata Simon, setiap saat bisa memohon perpanjangan dengan kriteria ayat (1). Nah antara BUMN dan anak perusahaannya (pasal 109) diskriminatif dengan Pasal 195 B ini. Secara hukum, kalau ada dislriminasi itu batal demi hukum.
"BUMN sahamnya dimiliki Pemerintah antara 65 persen hingga 100 persen, baik yang listing atau tidak, hanya bisa mengajukan perpanjangan paling cepat lima tahun atau paling lambat setahun sebelum habis masa operasinya," ungkap Simon.
RPP KEN Tak Relevan?
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Dina Nurul Fitria, mengungkapkan Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) Kebijakan Energi Nasional (KEN) akan disahkan dalam masa sidang V DPR RI
Terkait hal itu, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Aryanto Nugroho mengutarakan, kalau pemerintah tidak mengontrol dan mengendalikan produksi batubara, ditambah lagi memberikan konsesi tambang ke Ormas keagamaan, pada akhirnya produksi batubara akan lebih dari 1 miliar metrik ton per tahun.
"Kami khawatir RPP KEN, yang menjadi landasan transisi energi di Indonesia dan ditargetkan akan disahkan dalam waktu dekat, sudah tidak relevan, khususnya aspek batubara. Karena di hulu, produksi batubaranya tidak terkontrol. Ini hanya mengulang pelanggaran Pemerintah terhadap kebijakan Perpres 22 tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang membatasi produksi batubara di angka 400 juta ton mulai tahun 2019," ungkap Aryanto
Sumber: Tribunnews