GELORA.CO - Indeks dolar Amerika Serikat (AS) menguat dan terus memukul nilai tukar rupiah dalam penutupan perdagangan pada Jumat pekan lalu, 14 Juni 2024. Berdasarkan catatan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah berada di level Rp 16.374.
Pengamat perbankan dan praktisi sistem pembayaran, Arianto Muditomo memprediksi nilai mata uang rupiah masih akan merosot. “Perkiraan saya rupiah melemah serendah-rendahnya Rp 16.700 sampai Rp 16.900,” katanya kepada Tempo melalui aplikasi perpesanan pada Rabu, 19 Juni 2024.
Di sisi lain, sejumlah analis memperkirakan rupiah bakal mencapai kisaran Rp 17.000 per dolar AS. “Bisa ke Rp 17.000 jika BI kurang agresif mengintervensi, tetapi saya yakin BI telah mengantisipasi hal ini,” ucap pengamat komoditas dan mata uang dari DCFX Futures, Lukman Leong, Senin, 17 Juni 2024.
Kenaikan Biaya Operasional Industri
Melihat kondisi tersebut, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, nilai tukar rupiah yang terus keok hingga mencapai Rp 16.400 sangat tidak aman bagi dunia usaha.
“Level Rp 16 ribu saja sebenarnya sudah sangat mendongkrak cost of doing business (biaya operasional) di Indonesia menjadi semakin mahal. Tidak affordable dan tidak kompetitif bagi pertumbuhan industri dalam negeri atau untuk ekspor,” ujar Shinta saat dihubungi via pesan singkat pada Senin, 17 Juni 2024.
Dia merinci, kenaikan cost of doing business juga tidak hanya pada beban impor bahan baku atau bahan penolong saja, tetapi berimbas pada komponen beban usaha lain. Misalnya, beban logistik atau transportasi, keuangan, dan lainnya.
Pada akhirnya, lanjut dia, bakal merembet ke banyak hal yang mengganggu perputaran roda bisnis. “Akan berdampak pada risiko penurunan performa usaha, pengurangan potensi penciptaan lapangan kerja, kenaikan risiko non-performing loan (NPL), serta penurunan kapasitas produksi dan lain-lain. Ini baru dampak terhadap industri existing. Padahal, pelemahan nilai tukar juga berefek negatif pada realisasi investasi dan penerimaan investasi asing,” katanya.
Belum lagi, menurut Shinta, risiko penambahan volatilitas atau spekulasi pasar keuangan yang cenderung terus memberikan tekanan terhadap stabilitas makro ekonomi nasional. Dia menyebut, para pengusaha khawatir pasar domestik akan semakin lesu dan menahan diri untuk melakukan ekspansi konsumsi bila pelemahan nilai rupiah terus diabaikan.
Apindo berharap pemerintah terus melakukan intervensi kebijakan supaya stabilitas dan penguatan nilai tukar rupiah dapat tercapai. Shinta mengakui, hal itu memang tidak mudah karena pelemahan nilai tukar dipengaruhi kondisi eksternal yang di luar kendali Indonesia. Namun, pelemahan nilai rupiah menjadi yang terdalam nomor tiga di kawasan ASEAN secara year-to-date.
“Ini harus diwaspadai dan segera dikoreksi jika kita tidak ingin ekspor dan FDI (penanaman modal asing langsung) semakin tergerus. Perlu diingat, kedua kegiatan itu menghasilkan kontribusi yang signifikan terhadap penciptaan stabilitas makro ekonomi, penciptaan lapangan kerja, industrialisasi, dan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi secara keseluruhan,” ucap Shinta.
Menurut dia, apabila kinerja dan daya saing ekspor serta FDI tidak dijaga, maka pertumbuhan ekonomi di Indonesia semakin merosot. Pada akhirnya, kesejahteraan masyarakat akan sulit diraih.
Mempengaruhi Harga BBM
Sementara itu, pakar ekonomi Universitas Airlangga (Unair) Rudi Purwono menilai pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan berdampak pada sektor impor dan utang luar negeri.
“Harga impor, seperti minyak naik akan memengaruhi kebijakan pemberian subsidi BBM (bahan bakar minyak). Apabila subsidi tak ditingkatkan, maka harga BBM melonjak dan memicu kenaikan biaya transportasi serta produk-produk lain yang menggunakan bahan bakar minyak,” ujar Rudi dalam keterangannya melalui situs resmi Unair, Senin, 29 April 2024.
Dampak lainnya yang akan terasa adalah utang luar negeri menjadi lebih mahal untuk dibayar. Hal itu, menurut dia, berimbas pada penekanan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) serta perusahaan swasta. Sedangkan di sektor keuangan, inflasi tinggi bisa mendorong kenaikan suku bunga, sehingga meningkatkan biaya modal bagi dunia usaha.
Rudi menyoroti, fenomena fluktuasi nilai mata uang rupiah terjadi melalui beberapa tahapan. Pertama, melalui impor minyak, lalu kedua, melalui biaya bahan baku lantaran banyaknya industri yang menggunakan bahan baku dari luar negeri.
“Ini menyebabkan biaya produksi meningkat. Pada akhirnya, dapat menyebabkan kenaikan harga secara umum di pasar, yang dikenal dengan istilah inflasi. Dengan demikian, kenaikan nilai dolar AS dapat memengaruhi inflasi dengan menambah biaya impor bahan baku dan produksi,” kata Rudi.
Sumber: tempo