OLEH: DR. IR. SUGIYONO, MSI
UNTUK dapat menikmati kehidupan yang lebih baik, diperlukan pengorbanan. Demikian ungkapan terkenal disampaikan dalam terjemahan bebas dari bahasa Jawa.
Demikian pula untuk menikmati kinerja pembangunan tambahan infrastruktur, peningkatan kualitas sumberdaya manusia, dan kesejahteraan masyarakat Indonesia dalam 10 tahun terakhir, maka percepatan pembangunan ekonomi tersebut berdampak terhadap peningkatan utang pemerintah pusat.
Tambahan pembangunan infrastruktur tersebut antara lain adalah jalan tol yang beroperasi bertambah sepanjang 1.938 kilometer. Jalan nasional bukan tol bertambah sepanjang 4.547 kilometer.
Bendungan yang terbangun bertambah sebanyak 37 bendungan. Pembangkit tenaga listrik bertambah sebanyak 36,3 giga watt. Jumlah bangunan sekolah dasar bertambah sebanyak 1,5 ribu sekolah. Jumlah bangunan sekolah menengah pertama bertambah sebanyak 4,9 ribu sekolah.
Jumlah bangunan sekolah menengah atas atau sekolah menengah kejuruan sebanyak 3,6 ribu sekolah. Demikian informasi menurut Kementerian Keuangan tahun 2024.
Untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dan kesejahteraan masyarakat, maka pemerintah antara lain membelanjakan pengeluaran untuk akumulasi penerima beasiswa LPDP sebanyak 45.500 orang sampai bulan Desember tahun 2023. Prevalensi stunting diturunkan dari 37,2 persen menjadi 21,5 persen periode tahun 2013-2023.
Proporsi kemiskinan diturunkan dari 11,25 persen menjadi 9,36 persen selama periode tahun 2014-2023. Proporsi kemiskinan ekstrem diturunkan dari 6,18 persen menjadi 1,12 persen pada periode waktu yang sama. Demikian pula dengan tingkat pengangguran terbuka diturunkan dari 5,7 persen menjadi 4,82 persen.
Untuk melaksanakan neraca defisit APBN, maka pembiayaan utang APBN mencapai Rp648,1 triliun tahun 2024 (Kementerian Keuangan, 2024). Rasio utang dalam persentase Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai sebesar 38,98 persen tahun 2023, yang berada di bawah ambang batas rasio utang berdasarkan UU Keuangan Negara.
Ambang batas tersebut sebesar 60 persen dari PDB. Atas pembiayaan utang, maka belanja pembayaran bunga utang pemerintah pusat sebesar Rp497,3 triliun tahun 2024. Ini artinya menjadi suatu belanja pembayaran bunga utang yang tinggi.
Akan tetapi data SUSPI dari Bank Indonesia (2024) menyatakan bahwa posisi jumlah utang bruto pemerintah pusat sebesar Rp8.191,2 triliun per triwulan IV tahun 2023. Untuk pembayaran utang jatuh tempo dalam setahun atau kurang pada jenis utang jangka panjang sebesar Rp638,82 triliun. Untuk pembayaran jatuh tempo lebih dari setahun sebagai jenis utang jangka panjang sebesar Rp7.520,96 triliun.
Artinya, persoalan utang APBN dan pembayaran bunga utang merupakan persoalan penting yang semakin menekan keberlanjutan fiskal pemerintah pusat, sekalipun asal utang dari sumber dalam negeri yang sebesar Rp5.123,84 triliun masih lebih besar dibandingkan dari sumber luar negeri yang sebesar Rp3.067,36 triliun.
Namun utang luar negeri mempunyai rasio pembayaran utang triwulan menggunakan indikator Debt Service Ratio (DSR) tier-2 telah mencapai 36,47 persen per triwulan 1 tahun 2024 dan rasio pembayaran utang tahunan tier-2 mencapai 38,18 persen pada periode waktu yang sama.
Demikian data utang luar negeri bersumber dari SULNI, yang merupakan kerjasama antara Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia bulan Mei tahun 2024.
Artinya, keberadaan indikator DSR telah melebihi ambang batas aman sebesar 30 persen. Dengan kata lain, keberadaan utang bersumber dari luar negeri yang lebih kecil dibandingkan dalam negeri pun memerlukan kewaspadaan. Sebab, kebutuhan untuk membayar bunga utang yang jatuh tempo dan nilainya semakin besar, itu telah berdampak menekan alokasi belanja APBN.
Implikasinya adalah warisan utang atas konsekuensi dari percepatan pembangunan infrastruktur berdampak mempersempit ruang gerak dan menguras likuiditas APBN ke depan, yang semakin kurang likuid untuk lincah bermanuver secara lebih leluasa dalam membelanjakan program-program kampanye yang serba populis selama Pilpres 2024.
Misalnya, pindah ibukota negara ke IKN, makan siang gratis, dan penambahan jumlah kementerian. Yang terjadi bukannya fenomena ekspansi anggaran, melainkan kontraksi anggaran, atau refocusing APBN.
Apabila sebelumnya orang semula sangat meyakini bahwa sistem Pilpres, Pileg, dan Pilkada secara langsung akan membuat kehidupan keuangan negara dan ekonomi rumah tangga yang jauh lebih baik dan lebih sejahtera, namun sekarang keyakinan pada pengembangan demokrasi pemilihan secara langsung secara bertahap berada dalam keraguan.
Fakta menunjukkan pada kasus manajemen APBN yang semakin bergantung pada pembiayaan utang sebagaimana percepatan pembangunan infrastruktur tersebut di atas, terbukti justru menimbulkan warisan utang yang semakin besar dan semakin menekan alokasi APBN.
(Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana)