Hotel di Jepang Tolak Turis Israel Menginap karena Tak Mau Dianggap Kaki Tangan Penjahat Perang

Hotel di Jepang Tolak Turis Israel Menginap karena Tak Mau Dianggap Kaki Tangan Penjahat Perang

Gelora News
facebook twitter whatsapp
Hotel di Jepang Tolak Turis Israel Menginap karena Tak Mau Dianggap Kaki Tangan Penjahat Perang

GELORA.CO -
Sebuah hotel di Jepang membatalkan reservasi kamar turis Israel. Pihak akomodasi memberitahu pada pelancong itu bahwa mereka tidak dapat menampungnya karena laporan kejahatan perang yang dilakukan tentara Israel di Gaza.

Melansir Arab News, Rabu, 19 Juni 2024, dalam pesan pada turis tersebut, manajer hotel mengatakan, "Kami mohon maaf, karena adanya laporan kemungkinan kejahatan perang yang dilakukan anggota Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dalam konflik yang terjadi di Gaza antara Israel dan Palestina, kami tidak dapat menerima reservasi dari orang-orang yang kami yakini mungkin memiliki hubungan dengan tentara Israel."

Jeronimo Gehres, manajer Material Hotel, menambahkan bahwa menawarkan penginapan pada orang-orang yang "mungkin membantu atau ikut dalam kegiatan peperangan yang dilarang hukum humaniter internasional berdasarkan Konvensi Jenewa dan protokol tambahannya dapat menempatkan kami pada risiko." "(Kami enggan) dianggap sebagai kaki tangan dan/atau aksesori seseorang yang mungkin menghadapi tuntutan kejahatan perang," imbuhnya.

Menurut laporan, Duta Besar Israel untuk Jepang Gilad Cohen mengirimkan keluhan pada CEO hotel tersebut. Pihaknya menuntut penjelasan dan permohonan maaf atas insiden tersebut, serta meminta pemberhentian pengelola hotel tersebut.

Kedutaan mengatakan, telah menghubungi pihak berwenang Jepang dan sedang mencari jalur hukum yang tersedia bagi mereka terhadap hotel tersebut. Di sisi lain, keputusan itu justru disambut hangat para pendukung Palestina.

Lewat komentar online, mereka "sangat menghargai" langkah yang diambil hotel tersebut. "Ini bukan tindakan rasis, tapi bagian dari tekanan agar Israel angkat kaki dari tanah Palestina dan menyudahi pendudukan keji selama puluhan tahun, bukan hanya sejak 7 Oktober 2023," kata seorang pengguna X, dulunya Twitter.

Ada Negara Menolak Paspor Israel


Ada juga pengguna yang menulis, "Saat orang Israel bisa bebas liburan, tentara negaranya memastikan hari-hari paling menyakitkan bagi warga Palestina. Mereka menghadapi hari-hari penuh ketakutan dan serba kekurangan."

Awal bulan ini, Pemerintah Maldives mengumumkan larangan warga Israel memasuki wilayah mereka, seiring meningkatnya kemarahan publik di negara berpenduduk mayoritas Muslim tersebut atas genosida di Gaza. Presiden Maladewa Mohamed Muizzu memutuskan untuk "memberlakukan larangan terhadap paspor Israel," kata juru bicara kantornya dalam sebuah pernyataan, tanpa merinci kapan undang-undang baru tersebut akan berlaku, lapor Al Jazeera.

Muizzu juga mengumumkan kampanye penggalangan dana nasional yang disebut "Warga Maladewa dalam Solidaritas dengan Palestina." Hampir 11 ribu warga Israel mengunjungi Maladewa tahun lalu, atau setara dengan 0,6 persen dari total kunjungan wisatawan.

Data resmi juga menunjukkan jumlah warga Israel yang mengunjungi Maladewa turun jadi 528 dalam empat bulan pertama tahun ini. Angka itu mencatat penurunan 88 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Serangan Saat Jeda Taktis di Gaza


Sementara itu, pemboman Israel di beberapa daerah di Gaza tengah menewaskan sedikitnya 17 orang pada Selasa malam, 18 Juni 2024, menurut laporan media lokal. Ini terjadi meski tentara Israel menyatakan "jeda" sejak akhir pekan kemarin, lapor Middle East Eye.

Serangan dilaporkan manyasar rumah keluarga al-Rai di Nuseirat, di Gaza tengah, yang menewaskan sedikitnya delapan orang. Kantor berita Palestina Wafa juga melaporkan serangan Israel di Rafah, Gaza selatan, meski tentara Israel sebelumnya telah menyatakan "jeda taktis" dalam pertempuran untuk memfasilitasi aliran bantuan kemanusiaan yang disebut "hampir sepenuhnya berhenti" sejak awal Mei 2023.

Pengeboman hebat di Gaza tengah terjadi ketika seorang perunding senior Israel mengatakan pada AFP bahwa puluhan tawanan yang ditahan Hamas "dipastikan" masih hidup. Sang perunding, yang berbicara tanpa menyebut nama, mengatakan bahwa Israel tidak dapat mengakhiri perang sebelum memastikan pembebasan semua tawanan karena ia yakin Hamas dapat "melanggar komitmen mereka... dan menunda perundingan selama 10 tahun."

Krisis Kemanusiaan Kian Parah di Gaza


Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) melaporkan bahwa lebih dari 50 ribu anak di Gaza sangat membutuhkan pengobatan karena kekurangan gizi akut. Dalam sebuah pernyataan pada Sabtu, 15 Juni 2024, badan tersebut mengatakan, dengan terus berlanjutnya pembatasan akses kemanusiaan, masyarakat di Gaza terus menghadapi tingkat kelaparan yang sangat parah.

"Tim UNRWA bekerja tanpa kenal lelah menjangkau keluarga-keluarga dengan bantuan, tapi situasinya sangat buruk," kata badan tersebut, dilansir dari TRT World, Selasa, 18 Juni 2024. Hampir 37.300 warga Palestina terbunuh di Gaza oleh pasukan Israel sejak Oktober tahun lalu.

Sebagian besar dari mereka adalah perempuan dan anak-anak, dan hampir 85.200 lainnya terluka, menurut otoritas kesehatan setempat. Lebih dari delapan bulan setelah serangan Israel, sebagian besar wilayah Gaza hancur akibat blokade makanan, air bersih, dan obat-obatan yang melumpuhkan.

Bulan lalu dilaporkan bahwa persediaan bantuan makanan yang menunggu untuk masuk ke Gaza dari Mesir membusuk karena perbatasan Rafah telah ditutup sejak awal Mei 2024. Kondisi ini membuat orang-orang di wilayah kantong Palestina menghadapi krisis kelaparan yang semakin parah.

Sumber: republika
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita