Di Balik Panggung Sandiwara Politik Pencitraan

Di Balik Panggung Sandiwara Politik Pencitraan

Gelora News
facebook twitter whatsapp


OLEH: JEJEP FALAHUL ALAM*
MEMASUKI tahun Pilkada Serentak 2024, beragam strategi maupun taktiK diperagakan oleh politiKUS maupun calon kandidat kepala daerah dalam memikat calon pemilih. Di antara rentetan strategi yang sering kita temukan adalah jurus politik pencitraan.

Di dunia politik modern seperti sekarang ini, politik pencitraan menjadi alat yang sangat efektif dalam membangun persepsi publik. Pola ini tak ubahnya seperti sebuah sinetron atau drama Korea. Di mana para politikus atau para calon kepala daerah berperan sebagai aktor yang bermain di panggung politik.


Sedangkan rakyatnya hanya menjadi penonton untuk melihat dan menilai setiap adegan yang diperankan.

Jika diterapkan dalam konteks pilkada, teori ini mengungkap bahwa setiap kandidat itu menjadi pemeran utama, untuk memainkan peran tertentu, dengan tujuan menarik simpati dan empati rakyat, agar dapat memenangkan suatu pemilihan.

Maka para kandidat dalam hal ini, akan mengadopsi sedikitnya lima unsur unsur drama.  Baik itu setting, plot, konflik, karakter, dan tema. Semua itu didesain untuk menciptakan citra yang dapat memikat hati para pemilih.

Setting dalam calon kepala daerah sendiri berkaitan di mana dan kapan cerita itu dibuat? Latar apa yang mewakili lokasi fisik dan waktu, serta kondisi sosial dan budaya. Sehingga dengan latar yang dapat digunakan untuk menciptakan suasana hati, guna mempengaruhi perilaku karakter dan pengembangan plot.

Plot dalam politik pencitraan berupa strategi kampanye yang disusun dengan rapi, untuk menarik perhatian publik guna menciptakan narasi yang memikat tentang kandidat.

Sedangkan konflik yang dimainkan, biasanya melibatkan perbedaan pandangan antara para kandidat dan lawan-lawannya. Atau antara kandidat dengan masalah-masalah yang dihadapi daerahnya masing-masing.

Adapun karakter tak ubah seperti personal branding yang diciptakan oleh setiap kandidat, dalam menunjukkan sisi kepribadian dan kompetensinya.

Terakhir tema, bisa jadi seperti ide, isu keyakinan, moral, pelajaran atau wawasan. Tema ini harus dieksplorasi melalui peristiwa-peristiwa dalam cerita dan harus memberikan wawasan tentang perilaku atau kondisi yang terjadi.

Pertanyanya, apakah sandiwara politik ini akan berakhir dengan kejutan? ketidakpastian? atau bahkan kekecewaan? maka suka atau tidak suka, para kandidat harus siap menghadapi konsekuensi dari permainan tersebut. Kalah dan menang harus ditanggung resikonya.

Bagi rakyat sendiri, kesadaran dan pemahaman terhadap politik pencitraan sangatlah penting. Karena  kenyataanya, di balik kesuksesan politik pencitraan, seringkali terdapat jurang pemisah, antara apa yang ditampilkan dan kenyataan yang sebenarnya dalam kehidupan sehari hari.

Contoh, banyak para pejabat atau calon, menampilkan citra merakyat dan dermawan, namun realitasnya pribadinya, ternyata tidak demikian.

Ternyata kehidupanya itu elite dan pelit. Situasi ini jelas menciptakan akan kekecewaan di mata rakyat. Ketika pemimpin yang dipilih, ternyata tak mampu memenuhi ekspektasi. Dan jauh dari kenyataan hidupnya.

Deretan contoh itu banyak kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Penulis sendiri pernah berbincang ringan dengan salah seorang wartawan yang dekat dengan mantan kepala daerah (mantan gubernur). Ia membeberkan fakta yang mengejutkan, bahwa tampilan di media massa atau di medsos, jauh dari kenyataan hidupnya.

Di dunia maya ia terlihat alim, bijaksana, someah, dermawan, humoris dll. Tapi praktik di lapangan, semua itu hanya kamuflase belaka. Tak ubah seperti artis sinetron atau film. Ia hanya berakting saat kamera menyorotnya, setelah itu berubah kembali ke wujud aslinya.

Penulis pun memberi tanggapan atas temuan kasus itu, bahwa dunia politik itu seperti itu. Itu  bagian dari penerapan politik pencitraan.

Apa yang dipertontonkan jauh dari fakta sesungguhnya. Apakah itu sah dan halal? Menurut para politikus hal itu dibenarkan. Sebab dalam dunia politik itu, tak ada yang halal dan haram. Tak ada etika atau pelanggaran. Yang ada itu menang dan kalah.

Mau melakukan cara yang bertentangan dengan ajaran agama atau melanggat konstitusi pun, halal. Itulah gilanya zaman sekarang. Kondisi zaman yang sudah serba edan, maka pengikutnya pun ikut edan. Norma dan etika apapun sudah tak digubris. Jika sudah begini, maka biarkan saja, nanti pun kehancuran akan tiba.

Bertolt Brecht (10 Februari 1898-14 Agustus 1956). Ia adalah seorang penyair dan penulis naskah drama yang berasal dari Jerman. Ia mengatakan, pentingnya bagi kita untuk memisahkan antara penonton dan tokoh dalam sebuah drama.

Ia berpendapat, bahwa dalam drama itu harus membuat penonton tetap kritis dan tidak terlalu terlibat secara emosional, dengan tokoh-tokoh pada cerita tersebut. Cara seperti ini, penonton diharapkan mampu menganalisis dan memahami isu-isu yang diangkat dalam drama tersebut.

Berkaitan dengan konteks politik pencitraan, pemilih harus memainkan peran serupa. Pencitraan dalam pilkada bukan hanya sekadar sandiwara politik, namun harus menjadi arena, di mana pemilih harus terlibat aktif dan kritis dalam menilai para kandidat.

Pemilih harus mampu melihat di balik tirai sandiwara ini, dengan memilih kandidat yang memiliki komitmen tulus dalam membawa perubahan  bagi daerah. Guna menghindari manipulasi juga, kita pemilih atau penonton harus lebih kritis dan skeptis. Jangan mudah percaya, jika belum betul betul kita menyaksikanya secara langsung.

Karena kita harus sadar, di panggung politik pencitraan itu, tak ubah permainan yang penuh dengan ilusi. Melalui kesadaran dan kritisisme, rakyat, kita harus mampu melihat lebih dalam, di balik topeng pencitraan.

Rakyat harus melihat secara utuh, secara lahir maupun batin, calon pemimpinnya. Jangan hanya pandai berakting di panggung politik, namun faktanya tak memiliki integritas dan kapasitas untuk membangun daerahnya.

Maka rakyat harus menjadi pilar utama dalam menciptakan iklim politik yang sehat, di mana transpansi dan kejujuran menjadi landasan utama dalam setiap pemilihan.

Melalui langkah itu, politik pencitraan dapat kita ubah dari sandiwara politik, menjadi proses yang benar-benar nyata, di mana rakyat bisa memilihnya dengan fakta.

Tidak seperti membeli kucing di dalam karung. Semoga kita tidak tertipu oleh bergam tipu daya maupu modus para calon pemimpin. Tapi kita benar benar memilih pemimpin yang tulus dan berkomitmen melayani dan mensejahterakan rakyatnya. Semoga.

*(Penulis adalah Penggerak Kader Nahdlatul Ulama (PKPNU) Majalengka Jawa Barat)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita