OLEH: ADIAN RADIATUS*
PERSETERUAN panggung politik memperebutkan kekuasaan lewat media bernama demokrasi Pilpres sebagai upaya memenuhi tujuan mulia mengurus bangsa dan negara sesuai konstitusi dan amanat UUD 1945 telah mencapai klimaksnya pada 14 Februari 2024 lalu.
Maka para tokoh nasional yang juga disebut para elite nasional melalui partai politik atau parpol, baik yang sudah lama eksis maupun terbilang baru, melakukan perburuan suara rakyat atas nama demokrasi Pancasila sedemikian rupa, agar terlihat elegan paling peduli memperjuangkan aspirasi rakyatnya.
Upaya yang mereka lakukan dapat kita beri judul secara mulia dan terhormat sesuai watak dan jiwa bangsa ini, yaitu "ingin turut mengurus negara" agar menjadi semakin bertumbuh maju, besar dan semakin rakyat sejahtera.
Jadi mereka dalam apa yang disebut berkoalisi satu dengan lainnya sesuai kesamaan tujuan dan garis (dalam politik praktis disebut 'kepentingan') tata kelola negara yang sama konsep idealismenya.
Berbasis ingin mengurus negara itulah maka terjadi perilaku perebutan kekuasaan yang sekalipun harus semacam "perang" adu licin, adu busuk, adu pura-pura bahkan adu pembenaran dalam segala strategi termasuk kelancangan penguasa bermain di belakang layar.
Dan dalam kontestasi perebutan untuk mengurus negara memilih presiden ke delapan inilah yang paling menarik dari perspektif watak dan karakter pribadi-pribadi kepemimpinan yang terlibat.
Berbasis pengalaman terakhir pilpres dan upaya ambisi Presiden Jokowi terkait perpanjangan masa tugas hingga merubah batas tiga kali masa jabatan yang gagal, maka pertunjukan pentas politik semakin panas menjadi 'perang' kepentingan pribadi para elite penguasa partai termasuk presiden Jokowi sendiri tentunya.
Jokowi tidak tinggal diam, ibarat badan asli tidak bisa lagi tampil maka setidaknya bayangan dirinya masih bisa berperan untuk pemerintahan selanjutnya yang sekali lagi demi kepentingan eksistensi dirinya.
Jauh hari watak ambisius Jokowi telah terdeteksi oleh almarhum Taufik Kiemas bahkan hingga karakter penghianat telah terendus. Sayangnya elite partai terlalu terbuai dengan tampilan sederhana serta bungkuk-bungkuk cium tangannya ketika itu.
Sebelum lebih jauh, perlu digaris bawahi bahwa Jokowi apalagi Gibran Rakabuming Raka dalam kaitan 'sircumstances' pertarungan pilpres ini bukanlah pihak yang dapat disalahkan sepenuhnya secara agenda Komisi Pemilihan Umum.
Tetapi jelas Jokowi telah dengan sengaja memanfaatkan kekuatan kekuasaan yang dimilikinya dengan metode 'lempar batu sembunyi tangan', manakala upayanya mengatur bahkan menguasai PDIP tidak sesuai dengan analisa dan olah pikirnya.
Jokowi tidak hanya melecehkan ketua umum partai banteng moncong putih itu, tetapi juga kehormatan dan kewibawaan partai di mata rakyat. Tidak pernah ada ditemukan cara sekasar dan sebrutal itu dalam kaitan sikap politik seorang presiden yang diangkat oleh partainya sedemikian rupa secara perilaku etik moralitas.
Namun demikian, walaupun diperlakukana secara premanisme non fisik, PDIP khususnya sang ketum tetap berusaha tegar penuh kesadaran bahwa diri serta partainya sedang menghadapi pelaku pengkhianatan paling busuk dalam sejarah kepemimpinan di Indonesia.
Persiapan memberi 'pelajaran' balik bagi Jokowi harus selurus-lurusnya sesuai amanat kehormatan partai dengan langkah-langkah yang tak perlu kasar dan busuk seperti yang dilakukan pribadi Jokowi di mata PDIP.
Kasus 'permainan' catur politik yang melibatkan elite-elite partai sejatinya juga mengindikasikan memberi pelajaran bagi PDIP.
Terutama atas arogansi selama menjadi partai berkuasa yang dalam beberapa hal sangat tinggi hati, terlalu over percaya diri, meremehkan lawan-lawan politik berbasis koalisi kepresidenan Jokowi sehingga membuat munculnya niat ditengah kesempatan friksi Megawati dengan Jokowi menjadi berpeluang secara tidak langsung.
Cara "pinjam tangan" pihak lain untuk menjatuhkan lawan secara politik versus politik biasanya cukup ampuh secara jangka pendek meskipun dilapisi legalitas hukum yang saling menyandera.
Sebagaimana ungkapan terkenal, dalam politik tiada kawan dan lawan abadi, maka kemenangan Prabowo Subianto adalah murni strategi akumulasi dari konflik-konflik yang muncul kepermukaan tersebut.
Adapun penempatan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres lebih sebagai cara 'demonstrasi' politik melanjutkan kekuasaan Jokowi yang digandrungi sebagian pendukungnya.
Jadi bukan karena Gibran punya kekuatan massa, melainkan menahan pendukung Jokowi agar tidak kabur ke paslon PDIP yang menjadi musuh bersama partai-partai koalisi. Sejatinya pemilih Prabowo hampir tidak ada dikarenakan faktor Gibran, mereka pilih Prabowo murni faktor Prabowo itu sendiri.
Namun akibat dari semua strategi dalam rangka kehendak mengurus negara ini yang diwarnai konflik antara presiden Jokowi dengan PDIP khususnya sang ketum, maka kekuatan keharmonisan demokrasi Pancasila menjadi kehilangan jiwanya, kehilangan marwahnya.
Padahal seharusnya rakyat dan seluruh lapisan elite bangsa ini tidak dibuat dalam situasi politik yang tidak nyaman pasca pilpres ini.
Sebagai Presiden terpilih, Prabowo harus lebih dalam menengahi dan mengakhiri kegamangan politik dalam negeri ini karena sensitifitas rakyat juga semakin menjadi-jadi akibat tekanan kehidupan ekonomi dan sosial yang semakin memberatkan dari hari ke hari.
Hal ini akibat harga-harga merambat terus tanpa terlihat solusi yang pragmatis oleh pemerintahan Jokowi.
Pada saatnya nanti para pemimpin di Kabinet Presiden Prabowo harus siap-siap "cancut taliwanda" karena niat semua perebutan kemenangan itu adalah untuk berebut mengurus negara yang beban di sisi ekonomi, politik, hukum dan sosialnya semakin berlapis-lapis.
Uruslah negara kita tercinta ini cukup dengan dua kata, baik dan benar.
*(Penulis adalah pemerhati sosial politik)