GELORA.CO - Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi menduga wacana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dengan mengurangi subsidi pertalite dan solar untuk menutup anggaran makan siang bergizi atau sebelumnya makan siang gratis yang dicanangkan Presiden RI terpilih, Prabowo Subianto.
"Itu masih wacana kan, menaikkan artinya mengurangi subsidi. Saya khawatir itu untuk dana makan siang gratis yang jumlahnya besar itu," kata Fahmy dihubungi Tempo melalui saluran telepon pada Rabu, 29 Mei 2024.
Makan siang gratis adalah salah satu program yang dijanjikan dalam kampanye pasangan calon presiden-wakil presiden, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka saat pemilihan presiden. Mereka unggul dalam Pilpres mengalahkan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. Setelah Prabowo terpilih sebagai presiden, program makan siang gratis menuai polemik karena membutuhkan dana yang sangat besar di tengah kondisi keuangan negara yang pas-pasan.
Menaikkan harga BBM saat ini, menurut Fahmy bukan kebijakan yang tepat lantaran harga minyak dunia cenderung turun dan kondisi inflasi di Indonesia masih bisa teratasi. Tidak ada alasan yang penting ketika pemerintah tiba-tiba menaikkan harga BBM.
"Menurut saya ini blunder dan beresiko karena kenaikan pertalite dan solar justru memicu inflasi," ucapnya.
Kenaikan tersebut bakal diikuti melambungnya harga kebutuhan pokok lain bagi masyarakat. Hal itu disebut Fahmy bakal memicu minimnya tingkat daya beli di tengah masyarakat. "Rakyat yang tidak punya kendaraan bermotor harus menanggung kenaikan BBM subsidi. Perekonomian Indonesia ini akan jadi bom waktu bagi pemerintah Prabowo," tuturnya.
Fahmy mengatakan harga minyak mentah dunia saat ini 80 USD per barel. Sedangkan ICP (Indonesian crude price) yang dicantumkan di anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 82 USD per barel. "Kalau di bawah itu artinya tidak ada keperluan sama sekali (menaikkan harga BBM) tidak ada urgensinya," ujarnya.
Dia menyebut saat ini subsidi pemerintah untuk BBM sekitar 30 persen. Fahmy mengatakan jika ada rencana kenaikan lebih baik tidak dilakukan dalam waktu dekat dan tidak dilakukan serentak. Termasuk soal isu pembatasan pertalite.
"Jadi menurut saya ini blunder sebaiknya jangan dinaikkan dalam waktu dekat ini," tuturnya.
Direktur Ekonomi Digital dan Ekonom Center of Economic, (Celios), Nailul Huda turut buka suara soal isu wacana kenaikan harga BBM.
"Ini pemerintah nampaknya tengah melakukan kebijakan fiskal kontraktif. Pendapat masyarakat digencet," kata Nailul Huda kepada Tempo melalui pesan singkat pada Rabu, 29 Mei 2024.
Sebelumnya, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan buka suara soal potensi harga bahan bakar minyak (BBM) yang naik 1 Juni 2024 mendatang. Dia menyebut pihaknya masih memantau harga pasar. "Kami masih memantau harga pasar karena belum final," kata Riva usai mendampingi sidak Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan di Stasiun Pengisian dan Pengangkutan Bulk Elpiji (SPPBE) milik PT milik PT Satria Mandala Sakti di Koja, Jakarta Utara pada Senin, 27 Mei 2024.
Namun menurut Riva, Pertamina akan tetap mendukung program pemerintah dengan menetapkan harga energi sesuai dengan kemampuan masyarakat. "Kami tidak ada rencana melakukan hal-hal di luar ketetapan," tuturnya.
Riva membantah tudingan BBM subsidi jenis solar dan pertalite akan dikurangi. Menurutnya hingga saat ini tidak pernah ada diskusi mengenai informasi pengurangan tersebut. "Hal itu masih dalam kajian. Belum ada," ucapnya.
Dia memastikan hingga tahun depan kuota BBM bakal tetap sama seperti sebelumnya. Namun, di satu sisi pihaknya hanya melaksanakan penugasan sesuai arahan dari pemerintah."Tidak ada (kuota BBM kurang) dan Pertamina tidak dalam posisi menyampaikan itu karena kami menerima penugasan," ujarnya.
Saat ditanya bagaimana mengenai isu pembatasan BBM subsidi pertalite, Riva menyebut hingga saat ini juga belum ada pembahasan.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebelumnya mengatakan bakal menghitung dan mempertimbangkan kemampuan fiskal soal potensi kenaikan harga BBM pada Juni mendatang. Pasalnya, pemerintah telah menahan kenaikan harga BBM subsidi dan nonsubsidi sejak awal tahun 2024. "Semua dilihat fiskal negara. Mampu atau tidak mampu, kuat atau tidak kuat," kata Jokowi dikutip dari Antara dari Istora, Senayan, Jakarta pada Senin, 27 Mei 2024.
Kemampuan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk subsidi BBM akan dihitung dengan pertimbangan harga minyak dunia terutama di tengah kondisi geopolitik. "Semuanya akan dikalkulasi. Karena itu menyangkut hajat hidup orang banyak," tuturnya.
Sumber: tempo