GELORA.CO - Pukul 8 pagi, 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro memenuhi undangan persahabatan Letnan Gubernur Jenderal HM de Kock di wisma Residen Kedu, Magelang. Bagi Diponegoro, kedatangannya merupakan bentuk silaturahmi selaik kebanyakan kaum muslimin pada hari Lebaran.
Tak disangka, undangan tersebut ternyata jebakan kolonial guna meringkus Pangeran Diponegoro. De Kock menahan serta meminta sosok pemberani nan tangguh itu untuk menyudahi Perang Jawa (1825-1830). Status sebagai tahanan negara (staatsgevangene) ditetapkan untuk pemimpin Perang Sabil itu.
Menurut sejarawan berdarah Inggris, Peter Carey, sebelum pertemuan di wisma Residen Kedu, Pangeran Diponegoro memang berkeinginan kuat untuk menjadi Pemimpin Suci Perang Jawa.
Sang Pangeran bahkan pada sebuah surat beraksara pegon tertanggal 14 Februari 1830, tertuju Kolonel Jan Baptist Cleerens dan Mayor HF Buschkens menabalkan cap di tengah surat memuat gelar diri sebagai "Ingkang Jumeneng Kangjeng Sultan Ngabdul Chamid Herucakra Kabirul Mu'min Sayidin Pranatagama".
Sang pangeran memang berhasrat menjadi 'raja pemelihara dan penata agama di seluruh tanah Jawa'.
"Dengan gelar tersebut, Diponegoro menolak anggapan bahwa dirinya seorang pangeran haus kekuasaan. Namun, ingin menunjukkan diri sebagai pemimpin Perang Sabil. Tidak heran bila Diponegoro ingin pergi ibadah Haji dan dimakamkan di Haramain," kata Peter Carey seperti dikutip.
Adapun keinginan Pangeran Diponegoro untuk menunaikan ibadah haji, tercatat dalam Babad Dipanegara: An account of the outbreak of the Java War (1825-1830): The Surakarta court version of the Babad Dipanegara with translation into English and Indonesia Malay, dikarenakan malu dan hendak berserah diri berharap pengampunan Allah SWT.
Hal tersebut terlontar saat Diponegoro menaiki kereta kuda dengan pengawalan Kapten Roeps dan Mayor de Stuers menuju Semarang.
Dari Semarang, Diponegoro melanjutkan perjalanan dengan menumpangi kapal uap SS Van der Capellen menuju Batavia pada 5 April 1830.
Ia berharap agar pemerintah Belanda memberikan hak-hak legal kepadanya, apakah akan dikirim ke Mekkah atau ke tempat lain.
"Pangeran juga meminum sebotol air zamzam pemberian seorang haji baru kembali dari tanah suci ketika berada di Magelang agar siap menghadapi segala godaan," kata Peter Carey.
Informasi awal mengenai haji, menurut Peter Carey, hampir pasti didapat Diponegoro paling tidak dari seorang panglima pasukan Suronatan, Haji Badarudin ketika masih sama-sama berada di Tegalrejo.
Haji Badarudin telah dua kali naik haji atas tanggungan Keraton Yogyakarta dan dianggap ahli mengenai tata cara pemerintahan Utsmani di kota-kota suci.
Setelah ditahan selama tiga pekan di Staadhuis atau Balai Kota (Museum Sejarah Jakarta, kini), Batavia, sang pangeran telah siap melakukan perjalanan menuju Manado.
Para pejabat dan perwira Belanda, lanjut Peter Carey, telah membuat sang pangeran percaya bahwa Manado merupakan sebuah peristirahatan sementara agar dia bisa memiliki waktu mengirim surat ke Belanda, meminta izin naik haji ke Mekkah bersama para santri bekas pendukungnya.
Pukul 8 pagi, Senin, 4 Mei 1830, kapal korvet Pollux bertolak dari Batavia mengantar sang pangeran menuju pengasingan di Manado.
Letnan dua Knoerle, pendamping perjalanannya, mengatakan meski serangan malaria membuat sang pangeran seperti mayat hidup. Namun, minat terhadap sekeliling, terutama ilmu bumi sangat luar biasa.
"Ia (Diponegoro) ingin tahu jalur pelayaran ke Jeddah,” tulis Knoerle dalam Extract uit de gehoudene aanteekeningen gedurende mijne reis naar Manado, De Oosterling, 1830.
Di Manado, keinginan sang pangeran untuk pergi menunaikan ibadah haji terus menguat.
"Diponegoro berusaha menghemat uang tunjangan sebesar 600 gulden, dengan menabung dalam bentuk uang dan barang perhiasan, untuk pergi haji," ungkap Peter Carey.
Residen Manado, Pietermaat dengan cemas mengamati kebiasaan menabung sang pangeran. Dia menganggap tabungan tersebut untuk membentuk pundi-pundi perang melawan Belanda. Tak lama, Pietermaat mengurangi tunjangannya hingga hanya menjadi 200 gulden.
Usaha sang pangeran untuk mengejar impian mencecap tanah suci terhenti. Pemimpin Suci Perang Jawa tersebut sudah kehilangan hasrat pergi haji sejak meninggalkan Manado menuju Makassar.
"Ketika berada di dalam benteng Rotterdam di Makassar, dan telah sepuh, impian Diponegoro pergi haji sudah tidak lagi terdengar. Diponegoro hanya ingin menghabiskan sisa hidup di Makassar," katanya.
Pagi pukul 06.30, Senin 8 Januari 1855, Diponegoro mengembuskan napas terakhir di kamar, Benteng Rotterdam, Makassar. Sang pangeran dikebumikan di pemakaman Kampung Melayu, Makassar, tanpa sempat menggapai impian pergi menunaikan ibadah haji.
Sumber: viva