GELORA.CO -Penanganan dugaan korupsi di PT Asuransi Bangun Askrida (ABA) dipertanyakan. Dengan modus bagi-bagi komisi Rp4,405 triliun selama 2018-2022, dugaan korupsi di Askrida dilaporkan Indonesian Audit Watch (IAW) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun lalu.
"Sesuai jadwal yang sudah dikomunikasikan minggu kemarin maka siang ini IAW kembali mendatangi Dumas KPK untuk mempertanyakan sudah sampai di fase mana penanganan dugaan penyimpangan uang negara oleh Askrida," kata Sekretaris Pendiri IAW Iskandar Sitorus kepada Kantor Berita Politik RMOL di Gedung KPK, Jakarta, sesaat lalu, Senin (20/5).
Dugaan korupsi Askrida diadukan IAW ke KPK melalui surat pengaduan Nomor 27/PendirilAW/I/23 tanggal 17 Maret 2023. Laporan sempat tidak disikapi pengadu dengan alasan suasana politik Pilpres 2024.
Saham Askrida diketahui dimiliki sejumlah Pemda/BUMD. Akibat manipulasi laporan keuangan oleh direksi selama 5 tahun dari 2018-2022, dua gubernur pemilik saham terbesar Askrida mendapat pembagian uang cash ratusan miliar dengan tidak patut dan sah.
"Menggunakan dalih pembayaran biaya komisi padahal perusahaan memiliki hutang atau tunggakan klaim Rp 2,3 triliun kepada Bank Mandiri dan Bank Mandiri Taspen yang tidak dicatatkan dibayar sejak 2018," kata Iskandar menjelaskan isi laporan ke KPK.
"Pilpres sudah berakhir sehingga IAW saat ini mendatangi bagian pengaduan masyarakat KPK lagi," tambahnya.
IAW melengkapi laporannya dengan menyerahkan ke KPK berkas laporan audit keuangan dan laporan triwulan Askrida 31 Desember 2020, 31 Desember 2021, 1-14 April 2022, 31 Juli 2022, 31 Agustus 2022, dokumen korespondensi bank Mandiri, serta bukti-bukti lainnya.
"Perilaku manajemen PT ABA yang mengelola total saham 31.253 lembar dengan nilai Rp312.530.000.000 patut disidik KPK karena diduga menyimpangkan uang negara yang dikelolanya. Salah satu ukuran penyimpangannya yakni menghilangkan pencatatan utang/tunggakan klaim terhadap bank Mandiri Rp1,5 triliun dan Bank Mandiri Taspen Rp 800 miliar," terang Iskandar.
Tidak mencatatkan tunggakan selama bertahun-tahun di dalam laporan keuangan maka berarti Askrida menyalahi aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tidak bisa dimaklumi dari perspektif perundangan, tambah Iskandar, jika klaim tersebut sengaja disembunyikan.
"Menyembuyikan sama dengan merekayasa. Bahkan lebih memprihatinkan lagi bahwa dalam lima tahun itu Askrida rajin mengeluarkan biaya komisi yang jumlahnya super besar ketimbang laba," jelas Iskandar.
Komisi yang dibagi-bagi ke pemilik saham pada 2018 sebesar Rp849.726.000.000 padahal laba yang didapat perusahaan hanya Rp162.185.000.000.
Tahun 2019 komisi yang dibagikan Rp819.751.000.000 sementara total laba Rp79.913.000.000.
Kemudian 2020, komisi yang dibagikan ke pemilik saham Rp718.281.000.000 adapun laba yang dikumpulkan Rp75.949.000.000. Tahun berikutnya total komisi Rp941.590.000.000 padahal laba Rp74.899.000.000.
Terakhir, tahun 2022, laba yang didapat perusahaan Rp93.846.000.000 sementara komisi yang dibagi ke pemilik saham Rp1.075.714.000.000.
Pemilik saham terbesar Askrida sendiri adalah Pemprov Sumbar 15,6%, Dana Pensiun PT BPD Sumbar 7,9%, Dana Pensiun PT BPD Jabar 13%, PT BPD Jabar-Banten 9,6%, serta Pemprov DKI 4,1% dan saham Bank DKI 5,5%.
Direksi terlihat senang menggenjot pengeluaran untuk biaya komisi ketimbang membesarkan laba. Saat yang sama klaim dari bank BUMN/BUMD malah dihindari.
Terlebih lagi, beber Iskandar, pembayaran komisi dilakukan oleh oknum berinisial MH dan EY dengan cara pemberian secara cash kepada Gubernur DKI Jakarta dan Gubernur Sumatera Barat. Uang bersumber dari cabang Askrida di Jakarta.
"Tentu mudah bagi KPK untuk menelisik hal tersebut sebab jumlah triliunan itu akan terlihat nyata pada arus kas. Tidak mudah bagi manajemen untuk memanipulasi kertas-kertas transaksinya," katanya.
Tak hanya itu Askrida juga berinvestasi dengan tidak profesional, tidak hati-hati, di PT Mahanusa Graha Persada yang diketahui oleh publik sebagai perusahaan yang bermasalah.
Tiga hal berikut, kata Iskandar, menjadi bukti buruknya tata kelola korporasi di Askrida. Pertama, terjadi permasalahan keuangan berupa peningkatan rasio klaim dan rasio beban usaha, penurunan rasio hasil underwriting, rasio likuiditas, ROE dan ROA. Lalu beban klaim retensi 88.32% sedangkan beban reasuransi 11.68%.
Dua, perhitungan fakta cadangan premi mengingat nilai premi yang besar atas produk asuransi memiliki periode penutupan, dan tentu rendahnya pencadangan premi berakibat serius terhadap kemampuan perusahaan dalam menutupi klaim.
Tiga, perlu diselidiki terkait kertas kerja berupa memo internal Askrida tanggal 27 September 2022 tentang revisi target RKAP 2022 yang semula Rp4.233.970.000.000 menjadi Rp4.675.000.000.000, pembebanan revisi target premi, serta persyaratan utama terbitnya perjanjian bisnis Bank Mandiri.
"Penyimpangan yang akibatkan buruknya manajemen tentu memiliki konsekuensi hukum, baik dari sisi pidana umum dan atau pidana korupsi. Sudah selayaknya seperti imbauan KPK yang mengajak peran serta publik dalam kaitan pemberantasan korupsi maka ideal seluruh pemimpin daerah yang ikut dalam kepemilikan saham Askrida untuk segera diperiksa ulang kebenaran LHKP-nya," tukas Iskandar Sitorus.
Sumber: RMOL