Merespons hal ini, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Agus Sujatno mengatakan adanya Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan ini akan membebankan masyarakat yang menggunakan BPJS kelas tiga. Meskipun hingga saat ini premi atau iuran KRIS belum ditetapkan Pemerintah.
"Peserta existing yang terkelompok di kelas 3 terpaksa harus naik kelas. Tentu saja konsekuensi iuran juga berpotensi naik," kata Agus saat dihubungi VIVA Bisnis Senin, 13 Mei 2024.
Agus menuturkan, sedangkan untuk peserta BPJS Kesehatan existing yang saat ini terdaftar di kelas satu, harus secara sukarela turun kelas dan menyesuaikan KRIS. Menurutnya, jika peserta BPJS ini merasa keberatan dengan ruangan rawat yang diterimanya, maka peserta diperbolehkan naik ke kelas VIP.
"Nah, pasien eks kelas 1 yang tidak mau dirawat inap di ruang bebarengan, maka dipersilahkan naik ke kelas VIP yang dimiliki rumah sakit. Tentu saja dengan konsekuensi membayar selisih biaya, menjadi pasien umum, atau di-cover asuransi swasta (jika punya)," jelasnya.
Sehingga dengan demikian, YLKI menduga KRIS yang saat ini ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) digagas untuk mengakomodasi kepentingam asuransi komersial.
"Dengan demikian patut diduga kelas standar ini digagas untuk mengakomodasi kepentingan asuransi komersial. Pihak RS akan berlomba memperbanyak ruang VIP, untuk mengakomodir peserta JKN yang tidak mau menggunakan kelas standar," jelasnya.
Selain itu, Agus mengatakan adanya aturan ini rumah sakit wajib mengalokasikan minimmal 60 persen sebagai kelas rawat inap standar untuk rumah sakit pemerintah, serta 40 persen untuk rumah sakit swasta. Artinya, rumah sakit harus segera berbenah atau renovasi untuk mengikuti mandat Perpres.
"Tidak mudah bagi rumah sakit terutama swasta untuk mengubah set ruangan menyesuaikan kelas rawat inap standar," tekannya.
Di sisi lain, Agus menilai perubahan ruang ini juga penting untuk dilakukan standardisasi. Menurutnya, tim pengawas diperlakukan guna melakukan proses kredensial untuk penyesuaian ruang kelas standar.
"Jangan sampai ada program kelas rawat inap standar namun infrastruktur berbeda antara rumah sakit yang satu dengan lainnya," ujarnya.
Agus berpandangan, fenomena ini juga berpotensi menimbulkan kluster rumah sakit. Dalam hal ini rumah sakit yang menerima BPJS akan dianggap sebagai rumah sakit kelas dua, sedangkan rumah sakit yang tidak bekerjasama akan dianggap sebagai rumah sakit premium.
Agus mengatakan, kesiapan sumber daya manusia untuk menerapkan standar pelayanan juga diperlukan. Sebab cakupan wilayah di Indonesia yang luas, menyimpan kendala ketidakmerataan tenaga ahli/dokter spesialis di setiap rumah sakit.
"Terutama daerah 3T. Dengan kata lain, ketika menerapkan KRIS, juga harus dibarengi layanan standar yang sama, yang mencakup tenaga medis, obat-obatan dan fasilitas peralatan," jelasnya.
Agus melanjutkan, sejatinya saat ini hal yang dibutuhkan masyarakat konsumen adalah standarisasi pelayanan, bukan standarisasi kelas rawat inap.
"Dengan standarisasi pelayanan, tidak muncul dugaan kesenjangan dalam penanganan yang selama ini banyak dikhawatirkan pasien," imbuhnya.
Sumber: viva.