GELORA.CO - Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengkritik wacana penggunaan lahan sebanyak 1 juta hektare di Kalimantan Tengah untuk penerapan adaptasi sawah padi dari Cina.
Menurut Andreas lahan itu terlalu luas untuk rencana awal, dia memberi masukan agar menggunakan lahan sedikit dulu jika berhasil baru ditambah.
"Tidak masuk akal dan pasti gagal. Gitu aja lah kalau bicara 1 juta hektar pasti gagal. Terlalu luas terus nanti yang garap siapa," kata Andreas dihubungi Tempo pada Selasa, 23 April 2024 melalui saluran telepon.
Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan usai Pertemuan ke-4 High Level Dialogue and Cooperation Mechanism, (HDCM) RI-Republik Rakyat China (RRC) di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur mengatakan meminta agar Cina melakukan transfer teknologi sawah padi yang bakal diterapkan di lahan 1 juta hektare di Kalimantan Tengah.
Andreas mengatakan dari pengalaman food estate sejak zaman pemerintahan Soeharto pada 25 tahun lalu, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo luas tanah yang dipakai juga berjuta hektare, namun akhirnya gagal. Menurutnya pemerintah harus konsisten dalam melakukan pembenahan.
"Kalau mau target ribuan hektar dulu lah. Puluhan ribu saja bukan sesuatu yang gampang sangat sulit. Mungkin kalau perkiraan saya sampai 50 ribu itu sudah super luar biasa," ucapnya.
Sampai saat ini Andreas mengaku belum tahu soal teknologi apa yang bakal diterapkan dalam adaptasi yang dilakukan Indonesia dari sawah Cina apakah benih atau irigasi. Dia menilai sebenarnya produksi padi di Indonesia jauh lebih baik dari negara lain.
Indonesia sebenarnya dari sisi kualitas benih sudah ada beberapa sudah ada yang dikembangkan Hasilnya cukup menjanjikan kalau dari sisi teknologi.
"Cina mau bantu Indonesia yang mana dulu, atau bantu dari pendanaan dalam arti didanai semuanya karena pembiayaannya sangat besar. Apakah di sana atau pemerintah yang menyiapkan semuanya lalu Cina tinggal masuk ke Indonesia melakukan Budi daya terkait teknologi mereka kan bisa juga seperti itu kita masih belum jelas," tuturnya.
Menurutnya, yang perlu diperhatikan pemerintah jika ingin membuka lumbung pangan di Kalimantan Tengah yang perlu diperhatikan adalah proses kelola airnya. Andreas menyebut hal yang perhatikan dalam wilayah pembukaan baru yakni pengendalian hama dan penyakit, kelemahan lahan di Kalimantan Tengah yang merupakan gambut juga berpengaruh pada pengairannya.
"Tata kelola air sampai sekarang tidak beres nah kalau bisa diselesaikan dengan baik saya tidak melihat hal yang cukup berarti di sana. Cukup memungkinkan itu kalau tata airnya bisa dibenahi sehingga air ini bisa dikendalikan dengan baik," paparnya.
Sejak zaman Soeharto hingga sekarang menurut Andreas yang menyebabkan food estate gagal karena pemerintah melanggar kaidah akademik dan tidak konsisten soal kebijakan yang mana setiap ganti pemimpin maka ganti pula kebijakannya atau terlalu banyak pindah lokasi. Padahal pada permulaan setiap pemimpin langsung membuka lahan dengan skala besar.
Misal proyek di era Soeharto di Kalimantan Tengah tanah 1,45 juta hektar gagal, 2 proyek SBY di Merauke seluas 1,2 hektar yang gagal, di Bulungan Timur seluas 300.000 hektar kembali gagal dan Ketapang Kalimantan Barat di tanah seluas 100.000 hektar tapi juga gagal. Kemudian proyek Jokowi di kawasan Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), Papua dan Papua Selatan.