Dipecundangi Jokowi, tentu ini hal teramat berat bagi psikologi Megawati. Kontra pilpres dan kalah, suara PDIP yang digerogoti, dan gagal gugatannya di Mahkamah Konstitusi (MK) membuat kekalahan Megawati sangat telak.
Saat ini, Prabowo butuh Magawati. Pertama, karena PDIP yang dipimpin Magawati adalah partai pemenang pemilu. Bagi Prabowo, ini cukup merepotkan jika PDIP memilih jadi oposisi. Harus melawan partai pemenang pemilu.
Ketika PDIP pada akhirnya mengambil pilihan untuk menjadi oposisi, maka ini akan menjadi pemicu bagi parpol-parpol pendukung paslon 01 yaitu Nasdem, PKB dan PKS untuk minimal menaikkan harga tawar kepada Prabowo.
Setelah Prabowo-Gibran dilantik dan resmi jadi presiden Oktober nanti, jika PDIP tidak ikut bergabung, maka PKB dan Nasdem, termasuk PKS jika diajak, ketiga parpol ini bisa menaikkan daya tawar yang tinggi. Sebab, Prabowo amat sangat membutuhkan tambahan partai-partai di luar parpol pengusungnya.
Jika kepentingan PKB, Nasdem dan PKS tidak diakomodir oleh Prabowo, tiga partai ini bisa bergabung dengan PDIP untuk mengambil langkah oposisi. Meski kemungkinan ini sangat kecil.
Jika PDIP, PKS, PKB dan Nasdem jadi oposisi, maka ini bisa jadi petaka buat Prabowo. Hasil pileg 2024, empat partai pengusung 01 dan 03 ini punya 300 kursi di DPR. Ini kira-kira setara dengan 51,73%. Jumlahnya mayoritas di parlemen. Sementara parpol pengusung Prabowo yaitu Gerindra, Golkar, PAN dan Demokrat hanya punya 280 kursi di DPR. Setara dengan 48,27%. Minoritas di parlemen.
Karena itu, penting bagi Prabowo untuk terus membujuk PDIP gabung di koalisi pemerintahan. Jika rayuan Prabowo ini berhasil dan PDIP gabung, maka Prabowo cukup percaya diri untuk menghadapi tekanan dari parpol-parpol lainnya. Prabowo juga akan merasa aman dari upaya "impeachment" ketika menjadi presiden.
Kedua, dengan menggandeng Megawati, Prabowo juga bisa menetralisir tekanan dari Jokowi. Ini mirip dengan strategi Jokowi selama jadi presiden. Jokowi menggandeng parpol-parpol lain, juga kalangan TNI AD, terutama Luhut Binsar Panjaitan (LBP) dan gengnya untuk menghadapi penetrasi Megawati selama 10 tahun menjadi presiden.
Strategi ini tidak hanya sukses, tapi juga berhasil mengalahkan capres yang diusung Megawati dan sekaligus menurunkan suara PDIP di Pemilu 2024.
Kenapa Jokowi berkepentingan untuk menurunkan suara PDIP, sebagaimana pengakuan Andi Widjajanto, mantan Gubernur Lemhanas itu? Sebab, kekuatan PDIP adalah ancaman bagi pemerintahan yang didukung oleh Jokowi. Dalam hal ini adalah Prabowo-Gibran.
Di sisi lain, Jokowi telah gagal menjadikan PDIP di posisi kedua atau ketiga. Pemilu 2024, PDIP tetap menjadi pemenangnya dan menempati posisi nomor satu.
Dengan dominannya Jokowi atas Prabowo saat ini dan jumlah kursi partai pengusung Prabowo-Gibran yang kalah besar dengan parpol pengusung pihak lawan, maka mengajak Magawati gabung adalah pilihan yang amat penting dan harus ditempuh.
Bagaimanapun caranya. Kalau semua parpol pengusung paslon 01 dan 03 menyatakan sepakat tidak bergabung dengan Prabowo, maka ini akan benar-benar merepotkan dan bisa menjadi bumerang bagi pemerintahan Prabowo-Gibran. Apalagi, Pilpres 2024 diyakini oleh para pendukung paslon 01 dan 03 diwarnai kecurangan.
Hingga hari ini, Megawati belum membuat keputusan. Kelihatannya cenderung lebih memilih oposisi. Indikatornya? Pertama, Ganjar-Mahfud tidak hadir dalam penetapan pemenang Pilpres 2024 oleh KPU. Bahkan mereka menyatakan bahwa demi menjaga etika politik Ganjar dan Mahfud tidak akan ikut gabung ke pemerintahan Jokowi.
Kedua, PDIP sedang mengajukan gugatan ke PTUN atas dugaan "abuse of power". Ini sinyal kuat PDIP untuk memilih jalan oposisi.
Sementara Nasdem mulai kelihatan cukup genit dalam bermanuver. PKB intens komunikasi dengan pihak Prabowo. Kedua partai ini mencoba menawarkan PKS untuk ikut gabung di tengah resistensi parpol pendukung Prabowo-Gibran kepada partai dakwah ini.
Hingga hari ini, belum ada komunikasi Prabowo dengan PKS. Baik presiden PKS maupun ketua Majelis Syura PKS.
Prabowo ingin merangkul semua. Selain memang itu adalah karakter Prabowo, bahwa merangkul PKS itu juga penting untuk menguatkan pemerintahannya ke depan. Apalagi, PKS pernah bersama-sama dengan Gerindra menjadi oposisi dan dua kali mendukung Prabowo nyapres.
Romantisme ini tidak akan pernah hilang dari memori Prabowo. Prabowo dikenal pemaaf, menghargai perkawanan dan "loman". Tiga sikap positif yang dikenal oleh publik. Ini sisi personal. Bagaimana dengan integritas dan kemampuan Prabowo mengelola negara? Kita tunggu setelah pelantikan Oktober nanti.
Jika PDIP memilih oposisi dan berhasil mengajak semua parpol pengusung paslon 01, maka ke depan Prabowo bisa terancam kekuasaannya. Dalam hal ini, kendalanya ada di Nasdem dan PKB. Sebab, sulit membayangkan Nasdem dan PKB jadi oposisi. Tidak ada sejarahnya dua partai ini jadi oposisi. Mana tahan? Toh, bergabung dengan Prabowo tidak membuat dua partai ini akan kehilangan konstituennya.
Intinya, tidak ada beban apapun bagi kedua partai ini untuk bergabung, kecuali beban "janji perubahan". Emang janji itu penting bagi partai untuk ditunaikan? Ini soal lain. Jejak Demokrat yang lebih dulu melupakan "janji perubahan" sedang diikuti oleh kedua partai ini. Justru PDIP yang malah tidak punya "janji perubahan".
Sebaliknya, jika PDIP gabung ke pemerintahannya Prabowo, maka pengaruh Jokowi ke Prabowo bisa segera melemah. Syarat ini mutlak akan diajukan oleh PDIP jika partai pemenang Pemilu 2024 ini bersedia untuk gabung dengan Prabowo.
Selain tentu saja porsi kekuasaan yang cukup besar, minimal sama dengan Golkar. Posisi PDIP, sebagai pemenang pemilu, cukup kuat. Kuat untuk beroposisi, maupun kuat untuk bernegosiasi.rmol news logo article
*) Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa