Momen Ketua MK Suhartoyo Tegur Hotman Paris karena Terus Cecar Saksi Ahli Kubu AMIN

Momen Ketua MK Suhartoyo Tegur Hotman Paris karena Terus Cecar Saksi Ahli Kubu AMIN

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO  - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024, Senin (1/4/2024).

Dalam sidang tersebut, Ketua MK, Suhartoyo sempat menegur anggota Anggota Tim Hukum Prabowo-Gibran, Hotman Paris Hutapea.

Momen itu terjadi ketika saksi ahli dari kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN), Anthony Budiawan, sedang memberikan keterangan.

Hotman Paris berulang kali meminta Anthony untuk menjawab pertanyaannya terkait dugaan korupsi Presiden Joko Widodo (Jokowi).


"Tadi pertanyaan Hotman Paris belum dijawab, apakah permohonan pemohon dengan tuduhan Jokowi melakukan korupsi bisa dipakai oleh MK sebagai dasar membatalkan Pemilu? Belum dijawab majelis, tolong dijawab," ujar Hotman Paris.


Karena pernyataannya itu, Hotman sempat ditegur oleh Hakim Suhartoyo.

"Iya tidak usah terlalu semangat," tegur Suhartoyo.

"Bapak (Anthony) mau jawab tidak?," lanjutnya.

Anthony menyebut keputusan terkait pembatalan hasil Pemilu 2024 sepenuhnya merupakan kewenangan MK.


Karena itu, Anthony enggan banyak berbicara.

"Keputusannya di mahkamah jadi saya menyerahkannya ke mahkamah, bukan wewenang saya," jawab Anthony.


Sependapat dengan Anthony, Hakim Suhartoyo kemudian menjelaskan bahwa saksi ahli tidak bisa dipaksa untuk menjawab pertanyaan kubu terkait.

"Ahli juga tidak harus dipaksakan untuk menjawab, apalagi untuk sama dengan yang diinginkan," ucap Suhartoyo.

Mendengar pernyataan itu, Hotman kembali memberikan bantahan.


Menurutnya, saksi ahli dari kubu AMIN seharusnya memberi penjelasan lebih lanjut terkait dugaan korupsi Jokowi.

"Mohon izin majelis, kan dia yang memulai, dia yang mengatakan Jokowi korupsi, dia harus konsekuen dong sebagai ahli menerangkan," bantah Hotman.

"Tapi pada bagian apakah itu menjadi kewenangan MK kan sudah dijawab, diserahkan ke MK," jawab Suhartoyo.

"Maksud saya dia sebagai ahli harusnya konsekuen dengan jawabannya, jangan cuma omon-omon," balas Hotman.

"Anda tidak bisa memaksakan seperti itu," tukas Suhartoyo.


Sebagai informasi, kubu AMIN membawa 19 orang yang terdiri dari 12 saksi dan 7 ahli dalam sidang sengketa Pilpres 2024 di MK.

Di antaranya Ekonom Senior Faisal Basri dan Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan.

Sementara Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo - Mahfud MD mengatakan bakal mengajukan 8 orang ahli, di Antaranya, ahli hukum tata negara, ahli psikologi politik, ahli sosiologi politik, ahli komunikasi politik, hingga ekonom bidang pertanian, dan pakar IT.

Saksi Ahli Kubu AMIN: Pencalonan Gibran Tidak Sah

Dalam sidang tersebut, Ahli Hukum Administrasi Universitas Islam Indonesia (UII) Ridwan mengatakan pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres di Pilpres 2024 tidak sah secara hukum,

Ridwan menjelaskan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) kala itu membuka pendaftaran capres-cawapres pada periode waktu 19 hingga 25 Oktober 2023.

Pada saat itu, kata Ridwan, Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023 itu belum dihapus atau diubah.

Padahal dalam peraturan tersebut mensyaratkan bahwa pencalonan capres-cawapres minimal 40 tahun.

Sementara, pada saat pendaftaran, Gibran tidak memenuhi syarat lantaran masih berusia 36 tahun

"Saat pendaftaran, yaitu yang periodenya ditentukan KPU, pada tanggal 19 hingga 25 Oktober 2023, peraturan nomor 19 tahun 2023 itu belum dirubah.

"Sehingga, dengan demikian, peraturan saat itu yang berlaku saat itu adalah peraturan KPU nomor 19 tahun 2023 itu yang mensyaratkan calonnya berusia paling rendah 40 tahun, jadi saat mendaftar yang bersangkutan (Gibran Rakabuming Raka) itu belum berusia 40 tahun," jelasnya.

Kala itu, KPU tetap menerima pencalonan Gibran sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto.


Setelah pendaftaran Gibran diterima KPU itu lah, kata Ridwan, penetapan paslon menggunakan aturan baru yakni Keputusan KPU Nomor 1562 Tahun 2023.

"Ini yang saya aneh dari perspektif saya sebagai ahli hukum administrasi, adalah pada konsiderans menimbang huruf a, di sana disebutkan untuk melaksanakan pasal 52 ayat 1 PKPU nomor 19 tahun 2023 padahal keputusan tentang penetapan pasangan peserta pemilu itu diterbitkan tanggal 13 November," jelasnya.

"Sementara peraturan KPU itu sudah diubah pada tanggal 3 November, kok masih dijadikan dasar pertimbangan menimbang, konsiderans menimbang, itu secara hukum administrasi tidak tepat karena tidak berlaku, mestinya yang menjadi pertimbangan adalah UU yang baru, peraturan yang baru," imbuhnya.

Sumber: Tribunnews
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita