GELORA.CO - Di akhir masa jabatannya untuk periode kedua, Presiden Joko Widodo banyak menuai kritik. Apalagi setelah putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka maju sebagai calon wakil presiden mendampingi calon presiden Prabowo Subianto.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan batas usia capres dan cawapres 40 tahun dinilai memuluskan jalan Gibran sebagai cawapres di usianya yang baru menginjak 36 tahun. Diduga pembatalan batas usia ini dipermulus atas bantuan paman Gibran yang saat itu menjabat sebagai Ketua MK, Anwar Usman. Anwar adalah adik ipar Presiden Jokowi.
Isu ini juga yang diangkat oleh The Economist dalam editorialnya. Menurut The Economist, Jokowi mengakhiri masa jabatannya dengan memalukan, sesuai judul editorial tersebut: Jokowi's Inglorious Exit.
Menurut editorial tersebut, Jokowi meninggalkan jabatan presidennya dengan menanggung sedikit kepercayaan dari masyarakat dibanding ketika dia mencalonkan diri pertama kali 10 tahun lalu.
The Economist menulis, satu dekade Jokowi meraih kekuasaan dengan janji untuk mengalahkan para elit yang berkuasa sejak lengsernya Soeharto pada 1998, namun alih-alih mengalahkan para elit, Jokowi malah bergabung dengan mereka.
Disebutkan juga bahwa kecondongan Jokowi mendukung Prabowo yang berpasangan dengan putranya membuat dukungan untuk Menteri Pertahanan itu menguat.
"Dukungan Jokowi membuat Prabowo menjadi favorit untuk menenangkan pemilihan presiden di upayanya yang ketiga. Pesaing utamanya, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo, keduanya mantan gubernur yang kompeten, mengklaim kampanye mereka dihalangi atau dibatalkan oleh pejabat bayangan. Ini pertanda mengkhawatirkan bagi Indonesia, dan akhir yang tidak pantas bagi masa jabatan Jokowi."
Kendati demikian, editorial tersebut juga memuji kinerja Jokowi dalam bidang ekonomi dan pembangunan infrastruktur.
"Berkat manajemen yang bijaksana, keuangan publik membaik dan perekonomian lebih stabil. Indonesia tumbuh sekitar 5 persen per tahun secara konsisten," tulisnya.
Di akhir editorial disinggung soal kronisme yang ada di belakang pencalonan Prabowo sebagai capres ini sangat mengecewakan. Jokowi dinilai gagal memenuhi misi utamanya melawan elit saat pertama kali bertarung sebagai presiden 10 tahun silam.
"Jokowi muncul di 2014 bak angin segar. Tapi dengan gagal memperkuat demokrasi Indonesia, walaupun dia telah berhasil memperkuat perekonomiannya, dia meninggalkan bau busuk di belakang," pungkas editorial tersebut.
Sementara itu Aljazeera juga menulis nada yang sama, Jokowi mengakhiri masa jabatan dengan mengecewakan.
Kemunculan Jokowi pada 2014 dianggap sebagai angin segar karena latar belakangnya sebagai seorang pedagang mebel, bukan dari elit politik dan keagamaan, tulis Aljazeera.
Namun kini, banyak yang merasa kecewa dengan Jokowi menjelang akhir masa jabatannya.
"Saya dulu pendukung kuat ketika dia (Jokowi) jadi presiden dan saya bangga karena dia dari Solo," kata warga Solo dan seorang pedagang, Ferry Setiawan, dikutip dari Aljazeera, Selasa (13/2).
"Tapi pada akhirnya, dia belum menjadi pemimpin yang baik."
Hal yang mengecewakan dari Jokowi menurut Ferry adalah terkait putusan MK yang membatalkan batas usia minimum calon presiden dan wakil presiden.
"Saya kecewa," cetus Ferry.
"Tidak ada demokrasi dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Saya malu dengan nepotisme yang begitu jelas, tapi karena ini periode keduanya menjabat, mungkin Jokowi merasa dia perlu menemukan cara untuk tetap berkuasa."
"Dia itu seperti teman baik bagi saya tapi sekarang saya tidak suka kebijakannya," lanjut Ferry.
Kekecewaan yang sama juga dirasakan warga Solo lainnya yang juga seorang konsultan manajemen, Indrawan. Menurutnya, Jokowi sangat hebat ketika menjabat sebagai Wali Kota Solo dan Indrawan hampir bertemu setiap hari dengan Jokowi ketika itu.
Indrawan juga mengkritik keras putusan MK yang mempermulus jalan Gibran menjadi cawapres.
"Saya sangat kecewa padanya," kata Indrawan. "Dan saya mengatakan itu sebagai seorang teman," pungkasnya.
Dalam wawancara dengan Bloomberg sebelum Pemilu 14 Februari, Jokowi sempat ditanya, presiden seperti apa yang dibutuhkan Indonesia.
Presiden seperti apa yang dibutuhkan indonesia?
Dibutuhkan pemimpin yang mempunya nyali, berani mengambil keputusan
pemimpin berani bertindak, berani mengambil risiko, membela kepentingan nasional indonesia, pemimpin yang mempersatukan itu, melayani rakyat
Oktober lalu saat Gibran sudah diputuskan menjadi cawapres Prabowo, Jokowi menepis tudingan politik dinasti.
Jokowi menyebut hasil dari pemilihan umum akan ditentukan dari pilihan rakyat. Sebab, rakyatlah yang punya hak untuk memilih pemimpin mereka lewat pemilihan umum.
"Baik itu di pilkada, di pemilihan wali kota, pemilihan bupati, pemilihan gubernur, pemilihan presiden. Itu semuanya yang memilih itu rakyat, yang menentukan itu rakyat, yang mencoblos itu juga rakyat," kata Jokowi kala itu.
Dia berpendapat, isu dinasti politik ini nantinya akan kembali ke penilaian masyarakat. Dia menekankan hasil pemilu tidak ditentukan oleh elite-elite politik, tapi oleh rakyat sendiri.
"(Yang menentukan) bukan kita, bukan elite, bukan partai, itulah demokrasi," kata Jokowi.
Sumber: merdeka