GELORA.CO - Sepuluh tahun lalu, tepatnya pada Februari 2014, Kepala Ekonom Samuel Aset Manajemen, Lana Soelistianingsih memprediksi bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar dapat menguat jika Joko Widodo atau Jokowi menjadi presiden. Ia memperkirakan bahwa penguatan rupiah saat itu akan sangat tajam, dapat menyentuh Rp 10 ribu per dolar AS.
Menurut Lana, prediksi penguatan rupiah saat itu berdasarkan pada keinginan investor yang menginginkan kestabilan perekonomian, yang didapat dari kestabilan politik. Saat itu, Lana memperkirakan bahwa pemilu yang berjalan lancar dapat mendorong arus masuk dana asing ke saham dan obligasi, yang dapat menguatkan rupiah ke level Rp 10.800 per 1 dolar AS pada akhir 2014.
Namun, sepuluh tahun berselang, tidak terlihat tanda-tanda bahwa nilai rupiah akan mendekati Rp 10 ribu per dolar. Dengan masa kepemimpinan Jokowi yang tersisa sekitar enam bulan, nilai tukar rupiah justru melemah ke atas Rp 16 ribu per 1 dolar AS dalam sepekan terakhir. Berdasarkan perhitungan nilai kurs tengah yang bersumber dari nilai kurs jual dan kurs beli Bank Indonesia, rupiah kembali melemah dari Rp 16.177 pada Jumat, 19 April 2024 menjadi Rp 16.280 per dolar pada hari ini.
Rupiah menunjukkan tren melemah dalam setahun terakhir. Pelemahan terjadi sejak Bank Sentral AS atau The Fed menaikkan suku bunga ke level 5,25-5,50 pada Juli 2023. Alhasil, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS selalu berada di atas Rp 15 ribu. Kebijakan suku bunga menjadi salah satu faktor penting yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar suatu mata uang.
Faktor lain yang mempengaruhi pelemahan rupiah adalah nilai surplus perdagangan yang terus menipis. Hal ini lantaran pasokan dolar dari penerimaan ekspor yang terus menurun, alhasil permintaan dolar meningkat sehingga nilai dolar menguat.