GELORA.CO - Kunjungan politik Prabowo Subianto ke China dan Jepang menjadi sorotan karena membawa sejumlah sinyal penting dalam dinamika hubungan internasional.
Prabowo memulai lawatannya ke Beijing. Kemudian menuju Jepang. Baik di China dan Jepang, Prabowo menemui pemimpin masing-masing negara.
Dalam sebuah video yang diunggah akun @FPCIndo di Instagram, seorang pengamat hubungan internasional, Dino Patti Djalal menyampaikan analisisnya terkait lawatan itu.
Dia menyoroti bahwa kunjungan Prabowo ke China tidak semata-mata tentang kerja sama konkret yang dihasilkan, melainkan lebih kepada sinyal-sinyal politik yang tersirat.
"Pertama, kunjungan tersebut menunjukkan upaya China dalam melakukan diplomasi proaktif untuk merangkul Indonesia sebagai negara penting di Asia Tenggara, terutama dalam konteks rivalitas dengan negara-negara lain di kawasan," tutur Dino.
Para pengamat juga menilai lawatan tersebut sebagai langkah cerdik China yang mencuri 'start' dalam menjalin hubungan dengan presiden terpilih Indonesia, Prabowo Subianto
Kemudian, menurut Dino kunjungan ke Beijing juga dianggap sebagai pesan Prabowo kepada Amerika Serikat bahwa Indonesia tidak boleh dianggap remeh dalam hubungan bilateral.
Dalam konteks ini, ia menekankan bahwa Indonesia memiliki opsi lain dalam menjalin hubungan internasional jika AS tidak memperlakukan Indonesia dengan baik.
Sinyal ketiga, pertemuan Prabowo dengan PM Jepang setelah dari Beijing mencerminkan upaya untuk menjaga keseimbangan hubungan dengan negara-negara besar di kawasan.
"Prabowo ingin menunjukkan bahwa Indonesia mampu bermain di dua lini yang bersaing, sekaligus menjaga hubungan berimbang antara China dan Jepang," jelasnya.
Menurutnya, kunjungan ini juga menggambarkan minat Prabowo sebagai pemimpin saat berperan dalam arena politik internasional. Berbeda dengan pendahulunya, Joko Widodo, yang cenderung lebih fokus pada pembangunan domestik, Prabowo terlihat ingin menjadi pemain aktif dalam diplomasi luar negeri.
Dino mengungkapkan bahwa Prabowo nampaknya akan membawa wajah baru dalam politik luar negeri Indonesia, dengan prinsip bebas aktif sebagai pedomannya.
Sumber: kumparan