GELORA.CO - Politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Ade Armando, menolak usulan Partai Nasdem soal ambang batas parlemen atau parliamentary thresold naik menjadi tujuh persen di Pemilu 2029.
Ade menilai, angka itu terlalu tinggi bagi partai baru atau non petahanan di parlemen.
"Angka 7 persen untuk konteks Pemilu di Indonesia saat ini menurut saya sama sekali tidak bisa diterima," kata Ade dalam program Overview Tribunnews.com, Kamis (7/3/2024).
Menurut Ade angka 7 persen itu sengaja diusulkan semata-mata hanya karena partai-partai besar tak ingin tergeser di Parlemen.
Menurutnya, aturan ambang batas dinilai menghalau partai baru untuk berlenggang ke Senayan dan hanya menguntungkan posisi partai petahana di DPR.
"Justru ini cerminan bagaimana partai-partai besar yang lama itu menguasai, mengukuhkan kekuasaan yang mereka punya selama ini."
"Mereka nyaman dengan itu dan tidak ingin diganggu oleh hal itu, sehingga partai baru ini didorong untuk keluar tidak boleh masuk," ujarnya.
Di sisi lain, Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Indonesian Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, menilai ambang batas parlemen 7 persen merupakan hal yang rasional.
Dedi menjelaskan, jika ambang batas parlemen nol persen, maka akan muncul banyak parpol meskipun tidak miliki struktur yang jelas.
"Serta basis suara yang tak cukup untuk menyuarakan aspirasi nasional," tegasnya.
Adapun usulan angka 7 persen itu diungkapkan Ketua DPP Partai Nasdem, Sugeng Suparwoto.
Hal itu disampaikan Sugeng menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meminta mengubah ambang batas parlemen yang saat ini di angka 4 persen.
Sugeng mengaku, tak sepakat ambang batas parlemen diubah dari 4 persen.
Sugeng menyebutkan, bahwa partainya justru ingin agar ambang batas parlemen bisa di angka 7 persen untuk membatasi munculnya terlalu banyak parpol.
"Ambang batas parlemen diperlukan agar ketertiban suara di DPR lebih terfokus dan tidak menjadi ajang kekuasaan Parpol, 7 persen angka yang rasional, agar parlemen diisi oleh dominasi dukungan publik," kata Dedi dihubungi Kamis (7/3/2024).
Menurutnya dibandingkan menghapus ambang batas parlemen, lebih baik menghapus ambang batas presiden atau presidential threshold 20 persen.
"Berbeda halnya dengan presiden, justru yang perlu dihapus adalah ambang batas presiden. Hal ini karena presiden mewakili langsung publik, sementara parlemen tidak, mereka mewakili parpol," tegasnya.
Terpisah, Sekretaris Jenderal Partai NasDem, Hermawi Taslim, juga menilai, justru seharusnya ambang batas parlemen harus dinaikan secara bertahap.
Hal itu semata, agar terciptanya penyederhanaan partai politik yang terjadi secara alami oleh keputusan masyarakat dalam memilih.
"Kami (NasDem) berpendapat bahwa pengaturan pembatasan ambang batas parlemen tetap diperlukan, dan secara bertahap dinaikan agar terjadi penyederhanaan partai secara alami," kata Taslim, Jumat (1/3/2024).
Kata Taslim, sejatinya ambang batas tetap harus ada, sebagai bentuk praktik demokrasi yang modern dan mewujudkan partai politik yang ideal masuk ke parlemen.
"Pemberlakuan ambang batas parlemen adalah sebuah praktik demokrasi modern dalam rangka konsolidasi demokrasi, untuk mewujudkan jumlah partai yg ideal dalam keikut sertaan pada pemilu," kata Taslim.
Taslim mengatakan, praktik demokrasi yang memiliki ambang batas sejatinya akan menciptakan proses yang sehat.
"Karena mendorong partai-partai yang se-idelogi, se-platform untuk menyatukan diri agar menjadi kekuatan politik yang besar dan diperhitungkan dalam pencaturan politik," beber dia
Sumber: Tribunnews