GELORA.CO -Fakta tentang manipulasi data pemilih dalam kasus dugaan tindak pidana pemilihan umum (Pemilu) 2024 yang berlangsung di Kuala Lumpur, Malaysia, terungkap dalam sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (13/3).
Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengungkapkan manipulasi data pemilih yang dilakukan Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Kuala Lumpur, yang dituangkan dalam dakwaan dan dibacakan dalam sidang perdana siang tadi.
Disebutkan, pemalsuan data pemilih oleh 7 PPLN Kuala Lumpur berlangsung sejak penyusun daftar pemilih sementara (DPS) dimulai pada 5 April 2023. Saat itu, digelar Rapat Pleno Penetapan DPS di Aula Hasanuddin Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur.
"Pada saat rapat pleno penetapan DPS tersebut, terdapat komplain dari perwakilan parpol karena jumlah daftar pemilih yang tercoklit hanya sebanyak 64.148 pemilu dari jumlah DP4 (data penduduk potensial pemilih pemilu) sebanyak 493.856 pemilih," tulis Jaksa dalam dakwaannya.
Akibat dari jumlah DP4 yang tercoklit sangat sedikit, maka pada saat itu terjadi perdebatan antara perwakilan parpol dan PPLN Kuala Lumpur.
Namun, menjadi masalah ketika PPLN Kuala Lumpur memutuskan tetap memasukkan data DP4 yang belum tercoklit ke dalam DPS, dengan mengurangi data yang terindikasi tidak memenuhi syarat (TMS).
"Sehingga hasil akhir yang ditetapkan menjadi DPS sebanyak 491.152 pemilih," ungkap Jaksa dalam dakwaannya.
Tak sampai di situ, PPLN Kuala Lumpur kembali melakukan kesalahan dengan melakukan perbaikan DPS yang hanya merujuk pada masukan dari parpol. Sementara, masukan masyarakat tidak diperoleh karena publikasi DPS tidak dilakukan dengan menempel daftar nama pemilih di Kantor Perwakilan RI di sana.
"Bahwa perwakilan-perwakilan partai meminta penambahan 50 persen untuk komposisi pos, 20 persen atau 30 persen untuk TPS (tempat pemungutan suara), dan sisanya KSK (kotak suara keliling). Saat itu PPLN menolak, sehingga dalam rapat itu tidak ada kesepakatan yang berakhir deadlock dan berujung skorsing," urai Jaksa.
Namun, di saat-saat skorsing itu didapati fakta beberapa perwakilan partai melobi PPLN, kecuali 1 orang PPLN yang dilakukan Pergantian Antar Waktu (PAW) atas nama Masduki, dengan tujuan ada penambahan 30 persen data pemilih untuk metode KSK.
"Para Terdakwa (7 PPLN Kuala Lumpur) telah mengetahui daftar pemilih yang mereka kelola sudah tidak valid sejak tahap penetapan DPS, namun para Terdakwa tetap melakukan perubahan data dari metode TPS mengalihkan ke metode KSK dan pos," ungkap Jaksa dalam dakwaannya.
Karena hal tersebut, pada 21 Juni 2023 PPLN Kuala Lumpur menggelar Rapat Pleno Terbuka yang diwarnai sanggahan dari perwakilan Partai Nasdem, Perindo, Demokrat, dan Gerindra, yang intinya meminta adanya penambahan komposisi untuk pemilih metode KSK dan pos.
"Sehingga atas hasil rapat pleno terbuka tersebut diputuskan komposisi DPT (daftar pemilih tetap) KSK dari semula berjumlah 525 menjadi 67.945, dan DPT Pos dari semula berjumlah 3.336 menjadi 156.367 pemilih," beber Jaksa.
"Perbuatan para Terdakwa itu berakibat pada surat suara metode pos yang dikirim sebanyak 155.629, kembali ke pengirim (return to sender ke PPLN Kuala Lumpur) sebanyak 81.253 surat suara," tandas Jaksa.
Sumber: RMOL