Pemerhati politik Citra Institute Efriza megatakan hal tersebut merupakan langkah keliru.
Ia mencurigai bahwa ide sebuah kongsi jahat dalam mengelola negara.
"Presiden Jokowi boleh yang mengendorse Prabowo, ia juga boleh yang menjadi king maker sebelum Pilpres," ujarnya kepada Disway.id Rabu 13 Maret 2024.
"Selama sebelum Pilpres masih lumrah, tapi tidak karena menang koalisi ini kemudian dalam memerintah Jokowi diistimewakan, itu pemikiran konyol," imbuhnya.
Ia mengigatkan bahwa jika Presiden Jokowi sudah selesai masa jabatannya, ia tidak bisa mencampuri urusan pemerintahan yang baru dari Presiden Prabowo jika terpilih.
"Kebijakan Pemerintahan Jokowi boleh saja dilanjutkan oleh Prabowo, tapi bukan artinya Prabowo sebagai presiden bak "kerbau dicocok hidungnya". Kita punya preseden dengan Sekretariat Gabungan (Setgab) dari partai koalisi di masa SBY," terangnya.
"Hanya saja kala itu yang memimpin juga partai koalisi secara bergantian. Sehingga masih wajar jika menempatkan SBY sebagai Ketua Koalisi untuk menjalankan pemerintahannya, karena itu masih pemerintahan SBY yang masuk periode keduanya," sambungnya.
Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Pamulang juga menuturkan bahwa Prabowo tidak punya kewajiban menjalankan semua kebijakan Jokowi meski ia menjanjikan keberlanjutan.
"Jika usulan PSI dijalankan ini artinya koalisi bernapaskan kongsi jahat dalam mengelola negara. Jika disetujui oleh partai-partai politik di pemerintahan artinya independensi partai masing-masing sudah hilang, bahasa Sarkasnya, jadi mending satukan saja seluruh partai dengan ketua umumnya Jokowi," tandasnya.
Sumber: disway