GELORA.CO -Sorotan publik tengah ditujukan kepada Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia. Dia ditengarai telah melakukan praktik lancung dengan mematok tarif atau fee bagi perusahaan tambang yang izinnya dicabut agar bisa dipulihkan kembali.
Dalam penelusuran Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), polemik permainan izin tambang ini bermula sejak Mei 2021, ketika Presiden Joko Widodo menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Percepatan Investasi.
Melalui Keppres ini, Jokowi menunjuk Bahlil sebagai Ketua Satuan Tugas (Satgas) dengan tugas utamanya memastikan realisasi investasi dan menyelesaikan masalah perizinan, serta memungkinkan Bahlil menelusuri izin pertambangan dan perkebunan yang tak produktif.
Lalu, pada Januari 2022, Jokowi kembali meneken Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tentang Satgas Penataan Lahan dan Penataan Investasi. Keppres ini memberikan mandat ke Bahlil untuk mengisi posisi Ketua Satgas yang salah satu tugasnya untuk mencabut izin tambang, hak guna usaha, dan konsesi kawasan hutan, serta memberikan fasilitas kemudahan kepada organisasi kemasyarakatan, koperasi, dan lain-lain untuk mendapatkan lahan.
Tak hanya itu, Presiden Jokowi kembali mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2023 tentang Pengalokasian Lahan bagi Penataan Investasi pada Oktober 2023. Melalui regulasi ini, Satgas yang dipimpin Bahlil kembali diberikan tugas untuk untuk mencabut izin tambang, perkebunan, dan konsesi kawasan hutan, serta memberikan izin pemanfaatan lahan untuk ormas, koperasi dan lain-lain.
"Dalam perjalanannya, Satgas yang dibentuk itu telah mencabut 1.118 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan 15 Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPKH). Izin-izin ini merupakan bagian dari 2.078 IUP, 192 ISK, dan 34.448 hektar HGU perkebunan yang ditelantarkan, yang diumumkan Presiden Jokowi pada Januari 2022 lalu," ungkap Koordinator Jatam, Melky Nahar, melalui keterangannya, Senin (18/3).
Dituturkan Melky, Bahlil merupakan seorang politikus yang berlatar belakang pengusaha. Ia mengembangkan bisnis melalui PT Rifa Capital sebagai perusahaan induk yang menaungi sejumlah perusahaan, salah satunya adalah PT Bersama Papua Unggul.
Bahlil diketahui sebagai pengendali utama PT Bersama Papua Unggul, dengan kepemilikan saham mencapai 90 persen. Lini bisnis perusahaan ini salah satunya terkait sektor pertambangan, melalui PT Meta Mineral Pradana (MMP), perusahaan tambang nikel dengan dua izin tambang di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Saham PT MMP ini dimiliki oleh PT Bersama Papua Unggul sebanyak 90 persen dan PT Rifa Capital 10 persen.
Dalam menjalankan usahanya, Bahlil diduga menggunakan orang-orang dekatnya, salah satunya Tresse Kainama. Merujuk sejumlah dokumen akta perusahaan, Tresse tercatat memiliki saham 10 persen di PT Bersama Papua Unggul. Ia juga muncul di sejumlah perusahaan yang terafiliasi dengan perusahaan Bahlil, yaitu PT Meta Mineral Pradana sebagai Direktur, PT MAP Surveillances sebagai Direktur, dan PT Karya Bersama Mineral sebagai Komisaris.
Selain di sejumlah perusahaan tambang di atas, Tresse Kainama juga tercatat sebagai Komisaris di PT Cendrawasih Hijau Lestari dan Komisaris di PT Cendrawasih Artha Teknologi. PT Cendrawasih Hijau Lestari merupakan perusahaan yang bergerak dalam sektor perhutanan, beroperasi di Kaimana, Papua Barat .
Nama lain yang dikenal dekat dengan Bahlil adalah Setyo Mardanus. Ia tercatat sebagai Direktur Utama dan Pemegang Saham 5 persen di PT MAP Surveillances, juga Komisaris sekaligus Pemegang Saham 50 persen di PT Karya Bersama Mineral. Setyo juga diketahui menjabat sebagai Komisaris Utama dan pemegang saham 50 persen di PT Berkarya Bersama Halmahera, Komisaris Utama di PT Duta Halmahera Lestari, Komisaris di PT Tataran Media Sarana, dan Komisaris di PT Kacci Purnama Indah.
Nama perusahaan terakhir ini, pernah dituduh melakukan penambangan ilegal dan menambang di kawasan hutan tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara oleh Jaringan Lingkar Pertambangan (JLP) Sultra Oktober 2022 lalu.
Nama lain yang dikenal dekat dengan Bahlil adalah Made Suryadana. Ia tercatat sebagai Komisaris PT Bersama Papua Unggul dan PT Meta Mineral Pradana. Made juga menjadi pemegang saham mayoritas (85 persen) PT Wirani Sons dan sebagai Komisaris serta pemegang 25 persen saham di PT Ganda Nusantara. Selain itu, Ia juga menjabat sebagai Direktur PT Cendrawasih Artha Teknologi, perusahaan yang pernah menggarap pemasangan serat optik sepanjang 2.300 kilometer dalam proyek Palapa Ring Papua pada 2017-2019.
Bahlil dan Jokowi pada Pemilu 2019
Dibeberkan Melky, gurita bisnis Bahlil itu patut diduga tak lepas dari kedekatannya dengan Presiden Jokowi, terutama sejak Pemilu 2019. Sebelum dilantik menjadi menteri pada Oktober 2019, kedekatan Bahlil dengan Jokowi mulai terlihat ketika keduanya bertemu di Musyawarah Nasional HIMPMI XVI, Jakarta, pada 16 September 2019.
Hingga pada Pemilu 2019, Bahlil diketahui menjabat sebagai Direktur Penggalangan Pemilih Muda TKN Jokowi-Maruf. Merujuk laporan KPU dan LPPDK TKN Jokowi-Maruf, perusahaan yang terafiliasi dengan Bahlil tercatat sebagai penyumbang dana kampanye pasangan Jokowi-Maruf pada 2019. Yaitu PT Cendrawasih Artha Teknologi sebesar Rp25 miliar dan PT Tribashra Sukses Abadi lebih dari Rp5 miliar.
Afiliasi Bahlil dengan PT Cendrawasih Artha Teknologi terlihat melalui komposisi kepemilikan saham perusahaan, di mana PT Rifa Capital menjadi pemegang saham mayoritas (70 persen), sisanya (30 persen) dimiliki oleh PT Procon Multi Media. Bahlil diketahui juga pernah menduduki jabatan Komisaris PT Cendrawasih Artha Teknologi.
Adapun PT Tribashra Sukses Abadi, tercatat sebagai pemegang saham mayoritas (90 persen) di PT MAP Surveillances. Sisanya dimiliki masing-masing Wismantoro (5 persen) dan Setyo Mardanus (5 persen) sekaligus menjabat sebagai Direktur Utama. PT Tribashra Sukses Abadi juga tercatat memiliki 75 persen saham di PT Cendrawasih Hijau Lestari.
Korupsi Politik dan Gurita Bisnis Bahlil
Kedekatan dan kekuasaan politik besar yang diberikan Jokowi kepada Bahlil, hingga lini bisnisnya semakin menggurita, patut diduga tak lepas dari praktik korupsi politik. Dalam konteks pencabutan izin-izin tambang, Bahlil dianggap tebang pilih, bahkan diduga mematok tarif terhadap sejumlah perusahaan sehingga izinnya bisa diaktifkan kembali.
"Praktik lancung tersebut menunjukkan betapa menguatnya korupsi politik yang dilakukan pejabat negara di Indonesia. Korupsi politik itu terjadi ketika otoritas kekuasaan politik menggunakan kewenangannya untuk memperbesar kekayaan dan mempertahankan kekuasaan dan status mereka,” papar Melky
“Pelaku korupsi ini seringkali merancang regulasi dan kebijakan sesuai kepentingan mereka, menyalahgunakan dan atau mengabaikan undang-undang dan regulasi, hingga memanipulasi institusi politik dan prosedur sehingga mempengaruhi pemerintahan dan sistem politik," sambungnya.
Modus utama korupsi politik itu, lanjut Melky, biasanya terkait dengan penyalahgunaan jabatan, di mana pejabat terkait menggunakan kekuasaan politiknya untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Selain mencari keuntungan pribadi dan kelompok, modus korupsi politik juga dilakukan untuk balas jasa terhadap kelompok atau penyandang dana kampanye.
Modus utama lainnya adalah korupsi pada momen elektoral, dengan apa yang Jatam sebut sebagai Ijon Politik. Praktik ini dapat dipahami sebagai sistem kelindan antara korporasi (cukong) sebagai penyandang dana politik membiayai proses pencalonan kandidat dan biaya kampanye dalam pemilihan umum. Para penyandang dana kemudian mendapat imbalan berupa jabatan politik dan atau kemudahan dan jaminan hukum dan keamanan bagi usaha.
Selain itu, modus utama lainnya berupa praktik korupsi pada proses pembuatan kebijakan. Para koruptor dengan kuasa dan otoritas yang dimilikinya akan memenangkan agenda kebijakan yang menguntungkan diri dan kelompok tertentu. Hal ini terjadi sebagai balas jasa terhadap para cukong yang telah membantu meringankan biaya politik.
Di antara bentuk modus korupsi pada momen pembuatan kebijakan adalah pemberian porsi APBD pada proyek-proyek pemerintah, pemenangan tender pengadaan barang dan jasa, kemudahan izin usaha, hingga regulasi yang menguntungkan sebagian pihak saja.
"Dengan demikian, Jatam berpandangan bahwa polemik pencabutan izin tambang hingga gurita bisnis Bahlil tersebut, diduga kuat kental dengan praktik korupsi politik yang melibatkan Presiden Jokowi. Bau amis korupsi politik itu semakin terlihat jelas ketika Bahlil diduga tebang pilih dalam proses pembuatan kebijakan dan penegakan hukum, dengan mematok tarif atau fee terhadap sejumlah perusahaan," tegasnya.
Untuk itu, Jatam mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut dugaan praktik korupsi tersebut, dengan menyasar Bahlil dan Jokowi. Termasuk orang-orang dekat Bahlil itu sendiri.
Sumber: RMOL