Melakukan hubungan suami istri saat berpuasa jelas perbuatan yang dilarang bahkan dendanya sangat berat yaitu membebaskan budak atau berpuasa dua bulan sebagai kifarat.
Namun, tidak ada halangan bagi orang berpuasa untuk berhubungan suami istri pada malam hari. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Alquran.
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ
Artinya: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian; mereka itu adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka. (QS. Al Baqarah: 187)
Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan ayat tersebut turun ketika Umar bin Khattab juga menceritakan bahwa dia sempat mendatangi istrinya, padahal itu dialakukankannya setelah bangun dari tidur yang sebenarnya tidak boleh dilakukan, untuk kedua cerita inilah akhirnya Allah menurunkan ayat tersebut sebagai hujjah.
Kebolehan melakukan hubungan suami istri pada malam hari di Bulan Ramadhan merupakan suatu keringanan dari Allah buat kaum muslim, dan Allah menghapuskan apa yang berlaku di masa permulaan Islam.
Pada permulaan Islam, apabila salah seorang di antara mereka berbuka, ia hanya dihalalkan makan dan minum serta bersetubuh sampai shalat Isya. Tetapi bila ia tidur sebelum itu atau telah salat Isya, maka diharamkan baginya makan, minum, dan bersetubuh sampai malam berikutnya. Maka dengan peraturan ini mereka mengalami masyaqat yang besar.
Lantas bagaimana hukumnya bila sampai subuh belum mandi wajib untuk berpuasa Ramadhan?
Hukum Puasa Ramadhan tapi Belum Mandi Wajib
Hukum bagi muslim yang puasa Ramadhan namun belum mandi wajib tetap sah puasanya menurut jumhur ulama.
Hal itu didasarkan dari apa yang pernah dialami sendiri oleh Rasulullah SAW, sebagaimana tertera dalam hadits berikut ini :
عَنْ عَائِشَةَ وَأُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ اَلنَّبِيَّ كَانَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ
Dari Aisyah dan Ummi Salamah radhiyallahuanhuma bahwa Nabi SAW memasuki waktu shubuh dalam keadaan berjanabah karena jima’, kemudian beliau mandi dan berpuasa. (HR. Bukhari dan Muslim)
Direktur Rumah Fiqih Indonesia, Ustaz Ahmad Sarwat mengatakan, para ulama tidak mencantumkan suci dari hadats besar sebagai salah satu syarat sah dalam melaksanakan ibadah puasa.
كَانَ النَّبِيُّ يُصْبِحُ جُنُباً مِنْ جِمَاعٍ غَيْرِ احْتِلاَمٍ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُوْمُ
Adalah Rasulullah SAW pernah masuk waktu subuh dalam keadaan junub karena jima‘ bukan karena mimpi, kemudian beliau mandi dan berpuasa. (HR. Muttafaq 'alaihi)
Memang ada hadits yang menyebutkan bahwa orang yang dalam keadaan janabah tidak sah puasanya, misalnya hadits berikut ini :
مَنْ أَصْبَحَ جُنُباً فَلاَ صَوْمَ لَهُ
Orang yang masuk waktu shubuh dalam keadaan junub, maka puasanya tidak sah (HR. Bukhari)
"Namun larangan itu ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan junub adalah seseorang meneruskan jima' setelah masuk waktu shubuh," katanya.
Sedangkan bila jimak sudah selesai, meski berjanabah karena belum mandi, maka hal itu tidak menghalanginya dari mengerjakan ibadah puasa.
Lain halnya bila janabah itu disebabkan haidh atau nifas, maka hukumnya tetap terlarang untuk berpuasa. Karena larangan berpuasa karena haidh dan nifas tidak ada kaitannya dengan janabah. Larangan itu memiliki dasar masyru'iyah tersendiri, sebagaimana hadits berikut ini :
كُناَّ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ
Kami (wanita yang haidh atau nifas) diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintah untuk mengqadha; shalat. (HR.Muslim)
Para ulama sepakat bahwa seorang wanita yang nifas terikat dengan hukum yang berlaku pada wanita yang haidh. Maka wanita yang sedang nifas juga diharamkan untuk berpuasa. []