GELORA.CO - Ekonom senior, Faisal Basri, menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) merusak demokrasi demi memungkinkan dinasti politik hadir.
Guna mewujudkan keinginannya itu, Jokowi merangkul para konglomerat ke dalam lingkarannya.
Setelah demokrasi dirusak, sambung Faisal, putra sulung Presiden Jokowi, yaitu Gibran Rakabuming Raka baru bisa maju menjadi calon wakil presiden (cawapres).
"Malu membicarakan demokrasi karena sudah dirampok oleh Jokowi. Karena dia tahu demokrasi yang genuine (asli) tidak memungkinkan dinasti politik hadir. Dia harus rusak dulu demokrasi, baru Gibran bisa jadi wakil presiden."
"Apa yang dia lakukan, dia perlemah institusi demokrasi. Tapi dia tidak punya modal, apa yang dia lakukan, dia telepon para konglomerat. Dia ajak dalam kekuasaan, pengusaha, dan penguasa dalam satu badan," ujarnya saat hadir dalam Seruan Salemba yang dihadiri sejumlah akademisi di Kampus UI Salemba, Jakarta Pusat, Kamis (14/3/2024), dilansir TribunJakarta.com.
Bersatunya kekuasaan dengan pengusaha itu menciptakan kekuatan yang luar biasa. Kekayaan Indonesia dikeruk sedemikian rupa.
"Sehingga kekuatan mereka luar biasa. Mereka keruk batu bara kita, pendapatan dari ekspor tahun 2022 saja Rp1.000 triliun."
"Itulah yang membuat Jokowi bilang, saya dan rekan-rekan perampok kekayaan alam di Indonesia akan memastikan Prabowo menang satu putaran," ujarnya.
Faisal berpendapat hal semacam ini tak bisa dibiarkan begitu saja.
Hal-hal negatif ini harus disingkirkan dari bumi pertiwi.
"Kalau kita biarkan generasi muda kita tidak akan diberikan sisa. Semua digaruk dan dibuang ke luar."
"Oleh karena itu sudah warning ini, kita harus betul-betul melumatkan kekuatan negatif di negeri ini."
"Semoga kita diberikan kekuatan, sebagaimana Rasulullah dan sahabatnya bisa memenangkan perang badar tatkala bulan Ramadan," ujarnya.
Pada kesempatan itu, Faisal turut membahas rendahnya indeks demokrasi Indonesia saat ini.
Data indeks demokrasi dari lembaga V-Dem menunjukkan Indonesia berada di urutan ke-87 yang disebutnya tertinggal dibandingkan Timor Leste dan Papua Nugini.
Seruan Salemba
Sejumlah akademisi dari berbagai universitas se-Jabodetabek menggelar pertemuan Temu Ilmiah Universitas Memanggil bertajuk ‘Menegakan konstitusi memulihkan peradaban berbangsa dan hak kewargaan’ di Gedung IMERI Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat pada Kamis ini.
Diskusi ini membahas tentang Indonesia yang saat ini sudah berubah dari negeri hukum menjadi negara kekuasaan.
Dibahas pula soal Indonesia yang memasuki episode krisis peradaban perihal etika dan nilai, kerapuhan sistem politik, hukum dan institusinya, serta dampak dari pelemahan bidang penting bagi publik seperti pendidikan, kesehatan, sosial budaya.
Tokoh-tokoh yang hadir dalam kegiatan temu ilmiah ini, di antaranya Pakar Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Garnasih; Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti; Guru Besar Antropologi UI Sulistyowati Irianto; Guru Besar UNJ yang juga mantan anggota Komnas HAM Hafid Abbas; Guru Besar Fakultas Hukum UI Harkristuti Harkrisnowo; Guru Besar IPB, Andreas Santoso.
Kemudian ada juga pemuka agama yang juga budayawan Franz Magnis Suseno; Akademisi UNJ Ubedilah Badrun; Aktivis HAM sekaligus Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid; Psikolog dan dosen Tika Bisono; dan ekonom Faisal Basri.
Ubedilah menyampaikan bahwa kegiatan ini secara umum digagas oleh Forum Guru Besar dan Akademisi Se-Jabodetabek yang juga punya jejaring berbagai kota di Indonesia.
Menurutnya, dirinya bersama Guru Besar UI Sulistyowati Irianto hanya sebagai pihak yang 'woro-woro' untuk berdiskusi mengoperasionalisasi gagasan bersama itu dalam langkah lebih konkret.
“Secara umum itu digagas Forum Guru Besar & Akademisi Se-Jabodetabek.”
Yang hebat adalah para guru besar itu yang bersedia berlama-lama memikirkan tentang masa depan republik,” tegas Ubedilah.
Dalam kesempatan itu, turut dibacakan Seruan Salemba 2024 dengan judul ‘Tegakkan Konstitusi Pulihkan Hak Kewargaan dan Peradaban Berbangsa’.
Sumber: Tribunnews