Feri Amsari menuding dan langsung menunjuk hidung Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebagai aktor utama kecurangan Pilpres 2024 yang dilakukan secara terstruktur dan sistematis.
Menurutnya Jokowi sudah lama merancang segala rencana kecurangan mulai dari dijadikannya iparnya Anwar Usman sebagai Ketua MK, hingga akhirnya meloloskan anaknya Gibran sebagai cawapres, serta guyuran bansos yang dirapel.
"Jadi bukan Prabowo. Dan kami langsung tunjuk hidung, aktor terbesar dalam kecurangan pemilu adalah Presiden Republik Indonesia Joko Widodo," kata Feri dalam tayangan acara Rakyat Bersuara di INewsTV, Selasa (5/3/2024) malam.
Menurut Feri, sejumlahbukti dan data berupa rekaman video serta screenshoot soal kecurangan penyelenggara pemilu dalam hal ini yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Jokowi sudah pernah ditampilkan di Komisi II DPR RI.
Di mana kata Feri Amsari dalam bukti yang dibawa itu ada perintah KPU kepada seluruh jajaran KPU di daerah untuk melakukan kecurangan Pemilu yakni memenangkan salah satu pasangan calon.
"Screenshot dan juga rekaman serta video perintah KPU RI kepada seluruh KPU di daerah untuk melakukan kecurangan Pemilu ditampilkan di Komisi 2 secara terbuka," kata Feri dalam acara Rakyat Bersuara di InewsTV, Selasa (5/3/2024) malam.
Lalu begitu akan ditampilkan pembicaraan soal kecurangan itu oleh perwakilan masyarakat sipil, menurut Feri, Komisi II DPR langsung menutup sidang dan menyatakan sidang tertutup dengan mengusir semue wartawan agar keluar ruangan.
"Komisi 2 selalu begitu ya, langsung menutup sidang dan menyatakan sidang tertutup serta mengusir wartawan. Sampai hari ini videonya masih ada di YouTube," katanya.
Menurut Feri adanya kecurangan penyelenggaraan pemilu yang dibeberkan terdapat dalam 38 bukti video, rekaman dan tangkapan layar.
"Salah satu datanya untuk menjelaskan telah terjadi kecurangan yang disebut sebagai terstruktur, sistematis, dan masif. Kita mulai dari terstruktur, maksudnya kecurangan itu melibatkan penyelenggara negara atau penyelenggara Pemilu," ujarnya.
Ia mencontohkan adalah kecurangan yang dilakukan KPU sebagai penyelenggara pemilu dalam 38 bukti yang dibawa masyarakat sipil.
"Masyarakat sipil hadir membawa alat bukti, jumlahnya 38 alat bukti yang bicara soal kecurangan penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU. KPU ini wasit," kata Feri yang merupakan salah satu pemeran dalam film Dirty Vote yang berbicara soal kecurangan pemilu yang dilakukan penguasa.
Menurut Feri dalam film itu semuanya berbais riset dan tidak bisa diganggu gugat kebenarannya.
"Riset yang terpilih untuk ditampilkan dalam film, hanya yang potensial. Tidak bisa diganggu gugat. Yang diinput dalam film tidak ada yang mengkritik dan melaporkannya. Siapa yang menuduh Fitnah, tidak pernah menyebutkan fitnahnya di bagian mana," katanya.
Feri menjelskan, film yang tayang di YouTube dan sudah disaksikan 35 juta kali itu, tidak diperuntukkan untuk untuk mendegradasi suara orang di Pemilu.
"Film ini mau mendidik politik kepemiluan kita, untuk bicara dua hal. Satu bahwa kecurangan terjadi dan terjadi dalam satu putaran serta menang 50 persen, serta terbukti data di film itu," katanya.
"Kedua. siapa pelaku kecurangannya. Dan kami langsung tunjuk hidung, aktor terbesar dalam kecurangan pemilu adalah Presiden Republik Indonesia Joko Widodo," katanya.
Feri juga mengungkapkan dua teori yang janggal terjadi dalam pemilu 2024 sehingga dikategorikan sebagai kecurangan.
"Kejanggalan pertama bahwa tidak lumrah dalam sistem presidensial ada seorang presiden yang memiliki partai mendukung calon presiden yang bukan berasal dari partainya. Gak lumrah," katanya.
Kejanggalan kedua kata Feri, dimana teori efek ekor jas yang tidak pernah terlanggar selama ini, justru tidak terjadi di pemilu kali ini.
"Dalam pemilu kali ini ada kejanggalan. Ada partai yang menang pileg tetapi calonnya kalah. Tapi ada calon presiden yang menang tapi partainya kalah. Bahkan tidak memperoleh bahkan setengah persen dari angka yang dia peroleh 58 persen," kata Feri.
Menurutnya kejanggalan ini terjadi karena ada masalah serius dalam pemilu.
Karenanya kata Feri Amsari hak angket kecurangan Pemilu 2024 harus ditujukan kepada eksekutif dalam hal ini Presiden RI Joko Widodo atau Jokowi.
"Pasti tentu akan ditujukan kepada eksekutif dalam hal ini Presiden Joko Widodo karena kecurangan itu sudah terlihat dari awal," katanya.
Feri mencontohkan, kecurangan eksekutif sudah ditunjukkan dengan adanya pernyataan cawe-cawe dan penggunaan data intelijen dalam Pemilu 2024.
"Apakah cawe-cawe itu berkaitan dengan Pemilu 2024, tentu ini yang harus diperiksa oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui hak angket," katanya.
Menurut dia, jika dilihat dari komposisi fraksi, Feri yakin hak angket ini pasti berjalan.
"Dan seharusnya memang harus dijalankan karena Pemilu 2024 punya banyak permasalahan. Harus dijalankan karena kecurangan itu sudah sangat jelas, tidak hanya cawe-cawe. Namun Sirekap yang banyak masalah tetap harus diselidiki," katanya.
Feri mengatakan saat menggelar hak angket, DPR juga harus memanggil Komisi Pemilihan Umum atau KPU dan Bawaslu.
Mereka, kata Feri, harus diposisikan sebagai saksi, karena mereka sebagai penyelenggara Pemilu.
“KPU dan Bawaslu harus dipanggil sebagai saksi agar pelaku kecurangan itu dapat diketahui, apakah memang eksekutif pelakunya," kata dia.
Feri mengatakan, hak angket akan berujung kepada penyataan pendapat dari DPR.
Pernyataan pendapat ini akan dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk digugat.
“Maka akan dilaksanakan sidang MK terhadap pendapat DPR, bisa saja hak angketnya berujung kepada pemberhentian presiden dalam masa jabatannya,” katanya.
Pernyataan hak angket, pertama kali diungkap oleh calon presiden nomor urut 3 Ganjar Pranowo.
Ganjar mengatakan PDIP sebagai partai yang mengusungnya akan mengajukan hak angket untuk menyelidiki kecurangan Pemilu 2024.
Terkait hal itu, kubu calon presiden nomor urut 1 Anies-Muhaimin mengatakan akan mendukung hak angket yang diajukan oleh PDIP.
Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Sumber: wartakota