Dalam riwayat yang masyhur, disampaikan oleh Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW sempat melakukan salat tarawih secara berjemaah sebanyak tiga kali kesempatan.
Diceritakan pada suatu malam di bulan Ramadhan, Rasulullah SAW berada di masjid dan melaksanakan salat tarawih. Kemudian datang beberapa sahabat yang bermakmum di belakang beliau.
Pada malam berikutnya, Rasulullah kembali melaksanakan salat tarawih di masjid, dan sahabat yang bermakmum di belakang beliau semakin bertambah jumlahnya.
Hal yang sama terus berlanjut pada malam ketiga. Jumlah sahabat yang bermakmum di belakang Rasulullah kian membludak.
Hingga pada malam keempat, masjid sesak dipenuhi jemaah yang ingin melaksanakan salat tarawih bersama Nabi Muhammad SAW. Namun, setelah lama ditunggu, beliau tak keluar dari rumah.
Hingga fajar menyingsing, Rasulullah baru keluar untuk melaksanakan salat subuh berjamaah, selepas itu beliau berkhutbah terkait alasan mengapa semalam tak melaksanakan tarawih di masjid.
“Pada malam keempat, jamaah telah berkumpul, tetapi Rasulullah SAW tidak keluar rumah. Ketika pagi Rasulullah mengatakan, ‘Aku melihat apa yang kalian perbuat. Aku pun tidak ada uzur yang menghalangiku untuk keluar menemui kalian, tetapi aku khawatir (shalat tarawih) diwajibkan'," (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, Malik dan Ahmad).
Akhirnya salat malam di bulan Ramadhan dilaksanakan secara sendiri-sendiri. Kondisi seperti itu berlanjut hingga Rasulullah wafat. Demikian pula pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan awal kekhalifahan Umar bin Khattab.
Baru kemudian pada tahun ke-4 Hijriah, Khalifah Umar berinisiatif untuk menjadikan salat tersebut berjamaah dengan satu imam di masjid. Amirul Mukminin menunjuk Ubay bin Kaab dan Tamim Ad-Dariy sebagai imamnya.
Khalifah Umar lalu berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini (tarawih)”
Imam Abu Yusuf pernah bertanya kepada Imam Abu Hanifah tentang shalat tarawih dan apa yang diperbuat Umar RA.
Imam Abu Hanifah menjawab, “Tarawih itu sunnah muakkadah (ditekankan). Umar tidak pernah membuat-buat perkara baru dari dirinya sendiri dan beliau bukan seorang pembuat bid’ah.
Umar tak pernah memerintahkan sesuatu kecuali berdasarkan bukti dari ajaran Rasulullah. Banyaknya sahabat yang hadir, baik dari Muhajirin maupun Anshar, tidak ada yang menolak hal itu. Sebaliknya, mereka semua setuju.
Pada zaman Rasulullah, salat tarawih dilakukan dalam delapan rakaat untuk menghindari memberatkan umatnya. Namun, pada masa Umar, jumlah rakaatnya ditambah menjadi 20 karena Umar percaya bahwa umat Islam pada saat itu mampu menjalankan salat sebanyak itu tanpa kesulitan.
Sumber: viva