Ada Kapolda Jadi Saksi Gugatan Pemilu, Kapolres Nabire Pernah Lakukan Hal Sama di Pemilu 2014

Ada Kapolda Jadi Saksi Gugatan Pemilu, Kapolres Nabire Pernah Lakukan Hal Sama di Pemilu 2014

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO  - Wakil Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Henry Yosodiningrat mengungkapkan adanya seorang Kapolda yang bakal dijadikan saksi dalam gugatan sengketa Pemilu 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK).

Namun, Henry tidak membeberkan siapa sosok Kapolda yang bakal dijadikan saksi tersebut.

Dia menjelaskan Kapolda itu nantinya bakal menjadi saksi terkait pengerahan aparat negara untuk memobilisasi pemilih agar memilih kandidat tertentu.

Henry menuturkan, TPN memiliki bukti bahwa ada kepala desa yang diintimidasi oleh pihak kepolisian.


"Kami punya bukti ada kepala desa yang dipaksa oleh polisi, ada juga bukti warga masyarakat mau milih ini tapi diarahkan ke paslon lain, dan akan ada Kapolda yang kami ajukan,” kata Henry.

Di sisi lain, Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Tegung Santoso menganggap hal tersebut mustahil dilakukan lantaran Polri melakukan institusi netral dalam Pemilu 2024.

Sehingga, dia mengatakan jika Kapolda tersebut benar-benar menjadi saksi dalam gugatan Pemilu 2024, maka Polri bisa dikatakan berpihak.

Selain itu, Sugeng mengungkapkan yang bersangkutan juga telah melanggar kode etik.

"Karena posisi Polri secara normatif sudah dinyatakan netral, maka memberikan keterangan di depan persidangan, bisa dibilang berpihak apapun isi keterangannya."


"Belum membicarakan benar atau tidak, fakta yang disampaikan dan itu bisa dinilai sebagai pelanggaran kode etik," tuturnya kepada Tribunnews.com, Kamis (14/3/2024).


Kendati demikian, peristiwa ketika anggota Polri menjadi saksi saat sengketa pemilu di MK pernah terjadi.

Adapun hal tersebut terjadi di mana Kapolres Nabire saat itu, AKBP Tagor Hutapea dijadikan saksi saat sidang sengketa Pilpres 2014.

Kapolres Nabire Jadi Saksi, Sebut Bupati Dogiyai Janjikan Uang jika Warga Pilih Prabowo-Hatta

Dikutip dari pemberitaan Kompas.com pada 14 Agustus 2014, dihadirkannya Tagor saat itu lantaran kesaksiannya dibutuhkan untuk mendalami keterangan saksi yang dihadirkan seluruh pihak saat sidang di hari sebelumnya.

"Kita mau dengan keterangan kepolisian untuk pendalaman keterangan saksi sebelumnya," kata Ketua MK saat itu, Hamdan Zoelva.


Dalam keterangannya, Tagor membenarkan adanya arahan dari Bupati Dogiyai, Papua saat itu, Thomas Tigi agar warga mengalihkan suara untuk pasangan capres-cawapres saat itu, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Adapun arahan itu disampaikan Tigi dengan iming-iming imbalan sejumlah uang.

Peristiwa berawal ketika pada 17 Juli 2014, Tigi datang memenuhi undangan warga di sebuah gedung di Dogiyai.

Lalu pada pukul 12.30 WIT di hari tersebut, Tigi mengarahkan kepada seluruh undangan dan warga soal belum dibayarkannya honor petugas KPPS.

Keterlambatan pembayaran honor itu pun memicu tersendatnya perhitungan suara di tingkat distrik ke kabupaten.

Tagor mengungkapkan, saat itu, warga marah mendengar arahan dari Tigi dan membuat mereka langsung meninggalkan lokasi pertemuan.

"Warga berdiri dan menunjuk-nunjuk bupati. Tapi, penjelasan (Thomas) menggunakan bahasa daerah, jadi saya kurang paham," kata Tagor dalam sidang tersebut melalui telekonferensi.

Lalu, karena dikhawatirkan situasi tak terkendali, Tagor pun berkomunikasi dengan Ketua KPUD Kabupaten Dogiyai saat itu, Didimus Dogomo.



Didimus, kata Tagor, mengungkapkan bahwa Tigi menjanjikan uang maupun honor akan dibayarkan jika warga memilih Prabowo-Hatta.

"Ketua KPUD (Didimus) bilang kepada penyelenggara pemilu dan warga, 'Kalau kalian mau uang, ambil di Bupati, tapi suara harus dialihkan kepada Prabowo.' Itu pernyataan Didimus," ujarnya.

Tagor mengatakan pernyataan Didimus itu pun semakin memicu kemarahan warga.

Akibatnya, penghitungan suara pun dilakukan di luar gedung dengan mengangkat meja yang sebelumnya berada di dalam gedung.

Di sisi lain, meski honor petugas KPPS belum dibayarkan, seluruh petugas pun tetap melakukan rekapitulasi.

Panitia Pemilihan Distrik (PPD) juga mendesak agar suara bagi Prabowo-Hatta ditarik kembali.

"Mereka bilang, suara untuk Prabowo yang diberikan pada 9 Juli kami tarik kembali. Itu pernyataan dari PPD-PPD yang hadir. Mereka juga minta KPUD Dogiyai jangan mengubah suara dan dibawa sampai ke provinsi," kata Tagor.

Kapolres Nabire Jadi Saksi di MK atas Perintah Kapolri

Di sisi lain, dijadikannya Kapolres Nabire sebagai saksi dalam sidang gugatan Pilpres 2014 di MK adalah perintah dari Kapolri saat itu, Jenderal Sutarman.

Sutarman mengungkapkan perintahnya tersebut dalam rangka membantah bahwa Kapolres Nabire melakukan intimidasi dalam Pilpres.

"Saya sebetulnya meminta kalau bisa Kapolres dihadirkan di MK untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

"Karena MK itu adalah peradilan yang agung, jadi kesaksian itu harus benar-benar jujur, tidak berbohong," ujar Sutarman saat itu.

Sutarman menjelaskan, apabila Kapolres Nabire tidak bisa hadir langsung di MK, maka bisa dilakukan video conference untuk memberikan keterangan.

"Kalau Kapolres tidak bisa dihadirkan maka bisa melalui video conference karena MK punya jalur video conference," pungkasnya

Sumber: RMOL
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita