OLEH: ANDRE VINCENT WENAS
TUDUHAN kecurangan biasanya disampaikan oleh pihak yang kalah. Begitu pernah disampaikan Profesor Mahfud MD dengan sangat lugas.
Itu terjadi beberapa tahun lalu ketika pihak rival Joko Widodo alias Jokowi menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) saat perhelatan Pilpres 2019 usai.
Sekarang, Pilpres 2024 terulang lagi. Kubu yang kalah melancarkan tuduhan curang. Namun situasinya agak anomali.
Anomali bagaimana? Begini. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan para petinggi partai koalisinya, Ketua Umum Partai Janura, Osman Sapta Odang (OSO) misalnya, menuduh di pemilu kali ini terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis dan massif (TSM). Bahkan, pemilu kali ini sudah gila katanya.
Tapi kalau lihat faktanya malah bertolak belakang. PSI yang katanya partainya Jokowi masih tertatih-tatih dan terus berdoa agar elektabilitasnya bisa tembus parliamentary threshold yang 4% itu. Sementara PDIP malah masih menjuarai pileg (versi quick-count). Itu artinya sudah hattrick (menang 3 kali berturut-turut).
Pilpres (juga versi quick-count) agak mengejutkan, karena paslon yang didukung PDIP dan parpol koalisinya malah ambrol (istilah Prof. Burhan Muhtadi) ke posisi buncit. Paslon Amin beruntung ketiban durian runtuh menduduki runner-up. Katanya gegara blunder berkali-kali yang dilakukan Ganjar-Mahfud.
Paslon gemoy stabil, trennya naik terus dari 30-an persen, ke 40-an persen dan akhirnya tembus di atas 50 persen. Hasil hitungan cepat di kisaran 56%-59%.
Dengan gaya yang santai dan santuy berhasil menarik simpati publik. Di samping tentu konsep pembangunan mereka yang dikemas di bawah judul Asta Cita adalah yang paling jelas dan konkret.
Upaya mendegradasi elektabilitas mereka tidak berhasil. Malah naik terus secara gradual dan terus stabil. Sampai akhirnya keluar sebagai pemenang.
Ada insiden terjadi di Sulawesi Utara. Tribun Manado, Kamis 15 Februari 2024 memuat berita bertajuk “Penjelasan KPU Manado, Kotak Suara Kecamatan Wenang Dibawa ke Graha Gubernur Sulut.” Alasannya, kebijakan memindahkan sementara kotak suara ke Graha Gubernuran karena Kantor Kecamatan Wanea kurang representatif.
Tapi semua publik di sana tahu betul bahwa mantan Gubernur yang digantikan Pj Gubernur adalah dari parpol banteng. Pengaruhnya masih kuat di sana. Kecurigaan publik pun muncul, akhirnya jadi ramai. Apakah telah terjadi kecurangan? Walahuallam.
Kalau fenomena ini benar terjadi, bukankah ini yang namanya maling teriak maling. Hipokrisi par excellence.
Di kampanye pileg kemarin, PSI (yang katanya partai Jokowi) giat berkampanye soal RUU Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal demi menghapus praktik korupsi. Tapi apakah tema kampanye ini serta merta dapat dikunyah publik? Nampaknya masih perlu pendidikan politik jangka panjang.
Lalu soal mantan napi korupsi yang nyaleg lagi. Nampaknya juga belum dianggap isu yang penting di mata publik. Para mantan koruptor ini tetap melenggang dengan leluasa di panggung politik nasional. Tanpa rasa malu.
(Penulis adalah Direktur Eksekutif, Lembaga Kajian Strategis Perspektif (LKSP) Jakarta)