Lolosnya Gibran sebagai cawapres di Pemilu 2024 berdampak pada Anwar Usman yang juga paman Gibran Rakabuming Raka, dipecat dari jabatan Ketua MK. Demikian pula dengan Ketua KPU Hasyim Asy’ari yang diberikan sanksi berupa teguran keras dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Baik Anwar Usman maupun Hasyim Asy’ari, keduanya terbukti melanggar kode etik yang melekat pada jabatannya.
Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Gugun El-Guyanie mengatakan, rezim Jokowi lebih parah dari rezim Soeharto. Hal ini didasarkan pada sikap Jokowi yang rakus akan kekuasaan, bahkan melebihi rakusnya Presiden Soeharto yang dikenal otoriter.
“Kalau Soeharto wajar, dia tidak dibatasi oleh konstitusi, karena konstitusi sebelum amandemen. Karena tidak pernah ada batasan, tidak pernah ada norma yang membatasi Presiden berapa periode, hanya menyebut Presiden dipilih setiap 5 tahun sekali. Tapi tidak lupa konstitusi itu membatasi beberapa kali,” kata Gugun El-Guyanie dalam Diskusi Daring bertajuk "Seruan Moral Bergema: Dejavu 98 Apakah Terulang?" yang digelar Forum Intelektual Muda, Senin (5/2/2024) malam.
Sementara Jokowi, lanjut Gugun, karena lahir dari UU pasca amandemen, aturannya tegas bahwa Presiden dipilih lima tahun sekali dan tidak dapat dipilih kembali setelah menjabat dua periode.
Namun, karena Jokowi haus kekuasaan, akhirnya aturan tersebut diotak-atik dimulai dari upaya amandemen UUD 1945, menambah jabatan presiden menjadi 3 periode, mantan presiden bisa maju sebagai wakil presiden, lalu yang lebih vulgar adalah mengabulkan batas usia capres menjadi di bawah 40 tahun bagi kepala daerah yang dipilih melalui Pemilu di MK.
“Ketiga dengan cara yang vulgar juga, yakni mengakali agar anak Jokowi bisa menjadi Cawapres dengan cara minta pendapat MK atau memaksakan MK agar membatalkan syarat usia cawapres. Itu dilakukan dengan cara meruntuhkan lembaga atau the garden of konstitusi,” tutur Sekretaris Prodi Hukum Tata Negara di UIN Yogya ini.
Gugun menegaskan bahwa Jokowi rakus kekuasaan melebihi Presiden Soeharto, dia mengorbankan Anwar Usman dan Ketua KPU Hasyim Asy’ari yang disidang karena etik imbas dari permainan politik Jokowi.
Tak hanya soal Pemilu, Jokowi juga secara nyata telah merusak muruah KPK dengan merevisi UU tentang pemberantasan korupsi. Padahal, kata dia, KPK adalah salah satu lembaga yang mendapatkan kepercayaan tinggi dari masyarakat.
“Sikap Jokowi ini jelas merusak muruah KPK,” pungkasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Co-Founder Forum Intelektual Muda Muhammad Sutisna mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia diambang kehancuran, akibat segelintir orang. Mereka berupaya menekan kekuatan rakyat agar tidak mengambil peranan di Pemilu 2024.
“Padahal kita tahu bahwa demokrasi itu ya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Rasanya itu jauh dari semangat penguasa saat ini,” ujarnya.
Melalui diskusi bersama kelompok pemuda dan mahasiswa, Sutisna ingin mendorong agar ikhtiar menjaga demokrasi terus dilakukan. Baginya, akal sehat dan idealisme harus terus dipertahankan agar kemajuan Indonesia tidak terhambat oleh praktik KKN, yang mulai terlihat di negeri ini.
“Kita akan terus berdiskusi mengkritisi yang salah dari perjalanan demorkasi kita,” pungkasnya.
Diketahui, Diskusi Daring bertajuk Seruan Moral Bergema: Dejavu 98 Apakah Terulang? yang digelar Forum Intelektual Muda menghadirkan Pemerhati Sosial Politik Surya Fermana, Akademisi UIN Sunan Kalijaga El Guyanie dan Aktivis 98 Prijo Wasono sebagai narasumber. Hadir pula puluhan pemuda dan mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia sebagai peserta dalam diskusi tersebut.
Sumber: wartaekonomi