DALAM laporan The Economist Intelligent Unit, posisi demokrasi Indonesia berada dalam status demokrasi cacat (flawed democracy).
Aspek budaya politik dan kebebasan sipil, secara mencolok dan konsisten memposisikan Indonesia dalam stagnasi, dan dapat juga disebut regresi demokrasi.
Hasil quick count Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang digelar 14 Februari lalu menunjukkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mendominasi perolehan suara di hampir semua provinsi. Dengan rentang perolehan 57-58 persen, maka peluang pilpres satu putaran sangat besar untuk terjadi.
Namun, di balik angka perolehan suara yang cukup signifikan, mengandung “ketidakwajaran” dan proses-proses sebelumnya yang mendegradasi demokrasi. Gelombang kritik sejumlah gurubesar dan dosen Universitas yang menyampaikan keprihatinan terhadap demokrasi saat ini tentu bukanlah angin lalu atau isapan jempol belaka.
Ada indikasi Indonesia mengarah pada pseudo-democracy di mana pemilihan umum sebagai salah satu instrumen demokrasi dijalankan justru dengan banyak mengabaikan bahkan menabrak prinsip-prinsip dan nilai-nilai demokrasi.
Elections Without Democracy: Bias Otoritarianisme dan Demokrasi
Era Orde Baru terkenal dengan operasi khusus Ali Moertopo, di mana operasi senyap menggembosi partai-partai peserta pemilu yang menjadi lawan dari Golkar. Di lain sisi operasi tersebut juga memuat bagian untuk menggelembungkan suara Golkar melalui mobilisasi pegawai negeri sipil, kepala desa, hingga penerapan aturan yang diskriminatif terhadap partai-partai lain.
Praktik yang dilakukan oleh Orde Baru ini dalam bahasa Andreas Schedler bisa disebut dengan “rezim otoritarianisme hegemonik” di mana kekuasaan eksekutif mengendalikan penuh (full-control) proses elektoral dan persaingan hanya menjadi bagian dari rekayasa atau manipulasi kekuasaan.
Sejatinya dalam tipe rezim ini tidak ada persaingan, melainkan hanya penyelenggaraan teknis-elektoral prosedural rutin yang diklaim sebagai wujud pelaksanaan demokrasi. Lembaga-lembaga demokrasi pun dikontrol penuh oleh kekuatan koersif dan kapasitas kekuasaan organisasional negara sehingga rezim mampu mengkonsolidasikan kekuatan secara hegemonik untuk mengendalikan proses pemilu.
Pascagelombang demokrasi liberal di era 1990-an, negara-negara yang dulu dipimpin oleh kediktatoran militer mencoba menganut model demokrasi liberal dengan pendekatan neo-institusionalisme, akan tetapi tak juga menghasilkan demokrasi yang berkualitas dan substantif.
Steven Levitsky dan Lucan A. Way menemukan bahwa pascaperang dingin, negara-negara yang mulanya berwatak kediktatoran militer tak juga berubah menjadi negara demokratis, melainkan bertransformasi menjadi “rezim otoritarianisme kompetitif”.
Dalam rezim otoritarianisme kompetitif, kekuasaan petahana tidak memiliki kapasitas koersif dan organisasional untuk mengkonsolidasikan kekuasaan hegemonik dalam rangka untuk meniadakan kompetisi dalam pemilu, namun terjadi banyak penyalahgunaan kekuasaan yang melanggar prinsip-prinsip demokrasi secara serius demi mengkondisikan “arena pertarungan yang tak adil” dalam kompetisi elektoral.
Dengan kata lain, penyalahgunaan kekuasaan, institusi, hingga sumberdaya negara dilakukan oleh petahana untuk menciptakan arena pertarungan yang tak adil sehingga menciptakan kompetisi yang tak adil (unfair competition).
Intervensi terhadap independensi lembaga peradilan, layaknya peristiwa MKMK, penggunaan aparat hukum dan birokrasi, serta mobilisasi kepala desa secara terselubung, menekan pengusaha yang mendukung lawan hingga monopoli akses finansial dan media (baliho, iklan tv, medsos) sampai pada penggunaan anggaran kebijakan sosial (pork-barrel spending) seperti bansos dan BLT merupakan upaya menciptakan medan pertempuran yang tak seimbang. Sehingga pergerakan elektoral lawan dengan mudah dikontrol bahkan digembosi.
Peristiwa semacam ini tentu tak dapat disebut telah tegaknya demokrasi dengan hanya berpatokan pada parameter diselenggarakannya pemilu secara rutin. Levitsky dan Schedler bersepakat situasi semacam ini disebut dalam term “electoral authoritarianism”, di mana pemilu terselenggara dalam suasana otoriter yang diawali dengan runtuhnya “pagar” etika dan norma demokrasi, hingga penggunaan sumberdaya kekuasaan dan institusi negara untuk melemahkan kompetisi yang adil dan bebas sebagai syarat material terwujudnya demokrasi.
Elektoral otoritarianisme membuat sebagian negara berhasil melaksanakan pemilu secara rutin namun gagal melembagakan prinsip-prinsip demokrasi layaknya supremasi hukum, netralitas birokrasi, freedom of speech hingga imparsialitas penyelenggara pemilu.
Sehingga rezim otoritarianisme kompetitif bukan bertujuan untuk menjalankan demokrasi, melainkan untuk melanggengkan kekuasaan dan kohesi elite melalui sarana kompetisi elektoral yang tak adil dengan penyalahgunaan sumberdaya kekuasaan negara.
Maka pascakemenangan Prabowo-Gibran, perpolitikan Indonesia harus memiliki oposisi yang kuat di parlemen, untuk menghindari Indonesia tergelincir dari rezim otoritarianisme kompetitif ke dalam jurang rezim otoritarianisme penuh (authoritarianism hegemonic regimes).
Karena salah satu penyebab terjerumusnya rezim otoritarianisme kompetitif ke dalam jurang rezim otoritarianisme penuh layaknya Kirgizstan, Uganda, Kongo, dan Belarus adalah lemahnya oposisi, sehingga membuat kontrol terhadap kekuasaan sangat lemah.
Maka tak terhindarkan pemimpin kekuasaan eksekutif pun berubah menjadi seorang otokrat populis. Karena rusaknya demokrasi seringkali diakibatkan oleh tindakan pemimpin otokrat populis (leader-driven) yang terus menerus melanggar prinsip demokrasi namun tanpa kontrol dan pengawasan yang berarti dari cabang kekuasaan demokrasi.
Penulis adalah Ketua Umum DPP Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)