Harga surat suara itu dibanderol dengan harga 25 sampai 50 ringgit.
Jika dirupiahkan dengan kurs Rp3.276, maka harga surat suara di kisaran Rp81.900 hingga Rp163.800.
Hal itu diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo dalam konferensi pers yang digelar Migrant Care, Sabtu (10/2/2024).
"Per surat suara bisa berharga 25-50 ringgit," kata Wahyu.
Ia mengungkapkan surat suara yang diperjualbelikan oleh makelar suara berasal dari surat suara metode pos.
Surat suara itu tidak terdistribusi dengan baik, sehingga tidak diterima oleh warga negara Indonesia (WNI) di Malaysia.
Menurut Wahyu, motif utama dalam praktik yang selalu terjadi dalam setiap pemilu ini adalah adalah uang.
"Yang terjadi adalah memanfaatkan surat suara yang nganggur di kotak-kotak pos, di apartemen-apartemen. Mereka (makelar) ambilin dan kemudian terkumpul banyak," jelasnya.
Fenomena itu disebut Wahyu merupakan pelanggaran pemilu. Namun, penuntasan masalah tersebut menurutnya terkendala dari sisi yurisdiksi hukum karena terjadi di Malaysia.
Dalam kesempatan yang sama, Manager Program Migrant Care Mulyadi menjelaskan surat suara yang dikirim panitia penyelenggara pemilihan luar negeri (PPLN) di Malaysia ke tempat WNI pada akhirnya menumpuk di kotak pos apartemen.
Hal itu disebabkan satu kotak pos apartemen di Malaysia diperuntukkan untuk beberapa penghuni.
Oleh karena itu, WNI tidak dapat mengetahui dengan pasti saat surat suara dikirim ke alamat mereka. Menurut Mulyadi, makelar suara baru bekerja dengan mendatangi kotak pos di apartemen-apartemen WNI.
"Mereka sengaja nyari ke pos satu dan pos-pos lain. Setelah itu mereka menimbun surat suara pos. Ketika ada yang membutuhkan, mereka bargaining position, tawar-menawar antara 25-50 ringgit (per surat suara)," pungkasnya.
Sumber: tribunnews