Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, meraih kemenangan besar dalam pemilihan presiden pada 14 Februari lalu, berdasarkan penghitungan sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU). Di balik kesuksesan Prabowo ada campur tangan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Presiden Jokowi yang akan habis masa jabatannya, terlihat sibuk sejak pemilu, mengadakan pertemuan dan mengambil tindakan yang menurut para pengamat bertujuan untuk memastikan transisi yang mulus selama delapan bulan sisa masa jabatannya. Sekaligus mempertahankan pengaruh politiknya setelah meninggalkan jabatannya.
Channel News Asia (CNA) dalam laporannya kemarin mengungkapkan, koalisi partai-partai yang mendukung Prabowo tidak memiliki mayoritas di parlemen, yang berpotensi menyebabkan kemacetan legislatif. Jokowi pun melakukan manuver strategis untuk meningkatkan dukungan calon penggantinya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang beranggotakan 580 orang.
Jokowi, tidak membuang-buang waktu. Pada 18 Februari, ia menjamu Surya Paloh, pemimpin partai Nasional Demokrat (Nasdem) yang mendukung lawan Prabowo, Anies Baswedan, untuk makan malam santai di istana presiden. Ketika ditanyai oleh wartawan, Jokowi menganggap pertemuan tersebut sebagai pertemuan ‘rutin’ dan menyatakan niatnya untuk menjadi ‘jembatan’.
“Niat saya jadi jembatan bagi semua. Urusan politik itu urusan partai,” kata pria berusia 62 tahun itu, yang putranya Gibran Rakabuming Raka akan menjadi wakil presiden di bawah kepemimpinan Prabowo.
Nasdem masih bungkam soal pertemuan tersebut. Willy Aditya, seorang pejabat senior partai, menekankan komitmen Paloh untuk mencegah perpecahan nasional yang disebabkan oleh pemilihan presiden baru-baru ini.
Tiga hari setelah makan malam dengan Surya Paloh, Jokowi menunjuk Agus Harimurti Yudhoyono, pemimpin Partai Demokrat dan putra mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang.
Yudhoyono muda menggantikan Hadi Tjahjanto, yang ditunjuk sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Sementara Hadi menggantikan Mahfud MD, yang mengundurkan diri awal bulan ini untuk maju kontestasi pilpres sebagai pasangan calon wakil presiden Ganjar Pranowo. Perombakan kecil ini membawa klan Yudhoyono kembali berkuasa setelah satu dekade berada dalam belantara politik sebagai oposisi.
Koalisi Oposisi Besar Bisa Mengganggu
Presiden jelas prihatin dengan ancaman penyelidikan parlemen, yang dikenal sebagai Hak Angket, atas dugaan kecurangan pemilu, kata analis politik Dr Cecep Hidayat dari Universitas Indonesia. Ganjar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang berkuasa telah menyerukan penyelidikan atas dugaan penyimpangan dalam pemilu. Penyelidikan ini, jika dilakukan, memerlukan dukungan minimal 25 anggota DPR dan lebih dari satu kelompok partai di parlemen sesuai UU Nomor 17 Tahun 2015.
Penyelidikan parlemen berpotensi mengarah pada pemakzulan presiden, sehingga memicu gejolak politik yang mungkin mengganggu stabilitas pemerintahan yang akan berakhir dan mengganggu kelancaran transisi ke kursi kepresidenan Prabowo, Dr Cecep menjelaskan, masih mengutip CNA.
Senada dengan Dr Cecep, Dr Ujang Komarudin, pakar politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, mengatakan bahwa Jokowi tidak mampu menanggung gejolak politik dalam negeri yang mungkin melemahkan pemerintahan mendatang.
Ketika ketegangan masih tinggi dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Dr Cecep mengamati bahwa Jokowi sedang melobi Surya Paloh untuk mencegah pembentukan front oposisi bersatu antara Nasdem dan PDIP pimpinan Megawati melawan Prabowo. Urgensi Jokowi bertemu dengan Surya Paloh adalah untuk mencegah taipan media tersebut berinteraksi dengan Megawati, Bapak Hendri Satrio, pakar kepemimpinan dan politik dari Universitas Paramadina. Jika tidak, “keadaan bisa menjadi kacau bagi presiden,” kata Hendri.
Menurut laporan media, Megawati sekarang berencana bertemu dengan mantan wakil presiden Jusuf Kalla, mentor politik Anies yang juga memiliki hubungan dekat dengan Surya Paloh.
Jokowi kemungkinan besar berencana untuk mempertahankan pengaruh politiknya setelah meninggalkan jabatannya dengan mengambil peran resmi di dewan penasihat presiden, atau di dalam partai politik, kata Dr Ujang.
“Dia pasti tidak akan hilang dari kancah politik. Pertemuannya dengan Surya Paloh menempatkannya sebagai perantara kekuasaan untuk membuka jalan bagi Nasdem untuk bergabung dengan koalisi Prabowo, menggarisbawahi kepentingannya dalam memastikan kelangsungan kebijakannya dan menjaga warisannya,” kata Dr Ujang.
Jokowi memahami betul bahwa mantan presiden yang telah meninggalkan Istana akan kehilangan pengaruhnya jika tidak lagi memegang jabatan politik atau berupaya mempertahankan pengaruh politiknya.
Koalisi Prabowo – yang terdiri dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Amanat Nasional – kemungkinan besar hanya akan menguasai 43 persen kursi di parlemen. Alhasil, pemerintahan memerlukan koalisi untuk meraih mayoritas suara guna menstabilkan politik.
Partai-partai politik di Indonesia memiliki rekam jejak penyesuaian pasca-pemilu untuk mempertahankan akses mereka terhadap patronase dan sumber daya negara. Pada tahun 2009 dan 2014, Partai Golkar yang kalah bergabung dengan koalisi pemenang Partai Demokrat dan PDIP. Pada tahun 2019, Partai Gerindra yang dipimpin oleh Prabowo membuat langkah mengejutkan dengan bergabung ke kabinet Joko Widodo setelah partai tersebut mengalami kekalahan dalam pemilu, yang menunjukkan betapa cairnya lanskap politik negara ini secara ideologis.
Dr Ujang mengatakan Presiden Jokowi menyadari tantangan yang dihadapi partai politik Indonesia di luar pemerintahan. “Strategi Jokowi sejalan dengan keinginan Prabowo untuk merangkul semua partai politik termasuk partai yang kalah, seperti yang diungkapkan dalam pidato kemenangannya,” tambahnya.
Walaupun PDIP dapat mengambil peran sebagai satu-satunya oposisi ketika Prabowo mengambil alih jabatan presiden, kemampuannya untuk secara efektif menentang pemerintah mungkin terbatas karena partai ini kemungkinan hanya menguasai kurang dari seperlima kursi di parlemen, dibandingkan dengan perolehan kursi partai pemerintah.
PDIP saat ini memimpin 18 partai dalam pemilu legislatif dengan perolehan 16,78 persen suara, dengan lebih dari 62 persen suara resmi telah dihitung. Namun dengan adanya potensi koalisi oposisi yang besar di masa mendatang, Prabowo akan menghadapi tantangan yang signifikan.
Selain perlu mengamankan mayoritas di parlemen, mantan komandan pasukan khusus berusia 72 tahun itu juga harus mengelola beragam kepentingan dalam koalisinya, menyeimbangkan berbagai partai dan faksi di bawah pendekatan “tenda besar”. Penunjukan awal kabinetnya dan komposisi antara politisi dan teknokrat akan diawasi secara ketat sebagai ujian atas kemampuannya menavigasi dinamika yang kompleks ini.
Sumber: inilah