GELORA.CO -Selama Presiden Joko Widodo berkuasa dinilai lebih memfokuskan pembangunan infrastruktur, namun melupakan sistem hukum dan peradilan.
Hal itu dikatakan mantan hakim Mahkamah Kostitusi (MK) Maruarar Siahaan dalam acara diskusi publik bertema "Menyoal Langkah Mitigasi KPU Cegah Delegitimasi Hasil Pilpres 2024", di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (7/2).
"Kondisi ini tentunya menuntut kesadaran kita sebagai bangsa untuk memperbaikinya," kata Maruarar.
Sementara itu, pembicara diskusi lainnya, akademisi Charles Simabura menuturkan bahwa pemberian sanksi peringatan keras terakhir yang berulang dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menunjukkan tidak tegasnya DKPP sebagai lembaga negara.
"Peringatan keras terakhir yang kedua kalinya menunjukkan DKPP tidak tegas. Setidaknya sanksi berikutnya adalah pemberhentian sementara atau tetap," kata Charles.
Pendapat lain disampaikan Prof. Ikrar Nusabakti. Menurutnya, jika Pemilu 2024 hasilnya tidak legitimate, yang ada dalam pikiran adalah bagaimana sebuah pemerintahan bisa terjadi atau bisa berjalan dengan baik.
"Legitimasi pemerintahan itu bukan hanya menentukan siapa pemimpinnya, tetapi kemenangan dalam pemilu itu apakah diterima oleh masyarakat atau tidak," kata Ikrar.
Dalam politik, tambah Ikrar, seseorang bisa saja memiliki power tetapi dia tidak memiliki otoritas politik. Artinya, jika kekuasaan yang diperoleh tidak legitimate, maka rakyat akan memandang kekuasaan yang diperoleh akan dianggap tidak ada. Sebaiknya, jika kekuasaan yang diperolehnya dengan cara yang baik, maka akan memiliki otoritas.
Sumber: RMOL