GELORA.CO - Presiden Joko Widodo atau Jokowi memastikan tidak akan turun gelanggang mempromosikan kandidat dalam pemilihan umum atau Pemilu 2024. Sebelumnya, Jokowi menyebut Presiden dan menteri boleh berkampanye dan memihak di Pemilu.
Menanggapi itu, calon presiden Ganjar Pranowo mengatakan Jokowi sering mengucapkan dan merevisi pernyataannya sendiri. Menurut Ganjar, kalau statement Jokowi keliru, mestinya disampaikan dengan terbuka.
"Ada data, ada fakta, ada jejak digital yg berkali-kali keluar dan berkali-kali direvisi. Sampaikan dengan cara yang gentle siapa pun itu kalo itu adalah koreksinya,” kata Ganjar di Banyuwangi, pada Kamis, 8 Februari 2024.
Menurut Ganjar, kalau pernyataan itu terjadi meski sudah diklarifikasi, dia menilai Jokowi tidak konsisten. Ganjar mengupamakan dengan ungkapan bahasa Jawa.
“Tapi jika seandainya tidak, maka orang Jawa bolang tidak boleh berbalik-balik. Esok kedele, sore tempe (pagi kedelai, sore tempe) nggak bisa. Maka begitu kita berbeda-beda terus sulit rakyat mempercayai. Itu berlaku untuk siapa pun,” kata Ganjar.
Sebelumnya, Jokowi menepis isu akan berkampanye. Ia memastikan tidak akan turun gelanggang mempromosikan kandidat dalam pemilihan umum atau Pemilu 2024.
"Yang bilang siapa?" kata Jokowi saat ditanya apakah akan kampanye 10 Februari, dikutip dari video wawancara biro pers di Kabupaten Batubara, Sumatera Utara, 7 Februari 2024.
Jokowi kembali menyinggung pernyataannya di Halim Perdanakusuma pada Rabu, 24 Januari 2024, soal presiden memang diperbolehkan undang-undang untuk kampanye. "Tapi jika pertanyaannya apakah saya akan kampanye? saya jawab tidak. Saya tidak akan berkampanye."
Belakangan, pada Jumat, 26 Januari 2024, di Istana Kepresidenan Bogor, Jokowi menjelaskan aturan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 pasal 281 dan 299 tentang Pemilu.
Karena pernyataannya itu, Jokowi banjir kritik dari berbagai kalangan lantaran dinilai dapat mengakibatkan abuse of power. Pakar hukum mengingatkan, Jokowi luput pada pasal pemilu membatasi dukungan dari seorang presiden dan pejabat-pejabat negara lainnya untuk mendukung atau membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan salah satu pasangan calon, seperti pasal 282 undang-undang yang sama.
Sumber: tempo.