"Pelanggaran yang biasa disebut kecurangan masif selalu terjadi dalam pemilu sejak Orde Baru," ujar Jimly dalam keterangan tertulis, Ahad, 25 Februari 2024.
Jimly mengatakan kecurangan itu berlanjut dalam pemilu pertama era Reformasi pada 1999.
Sejak dimulainya pemilihan presiden atau pilpres secara langsung pada 2004 dan praktik pemilu serentak pada 2024, Jimly mengatakan pelanggaran masif selalu terjadi. Bahkan, dia menilai pelanggaran itu cenderung makin meningkat.
"Termasuk ketika dimulainya praktik sistem suara terbanyak tahun 2009 yang menyebabkan caleg internal parpol saling bersaing sendiri-sendiri," ujar Jimly.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi atau MK dan Majelis Kehormatan MK itu menilai puncak kecurangan terjadi pada pemilu serentak 2024 yang menyebabkan perhatian terpusat ke pilpres. Menurut Jimly, pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif atau TSM sering terjadi dalam praktik di pilkada, terutama pemilihan bupati dan pemilihan wali kota.
Karena perhatian tertuju ke pemilihan presiden atau pilpres, Jimly menilai muncul persepsi umum pada pemilu 2024, kecurangan terjadi karena faktor Presiden Jokowi. "Sehingga dinamika politik di sekitar proses dan hasil pemilu 2024 berkembang makin tegang dan penuh emosi," kata Jimly.
Jimly mengajak publik menurunkan emosi dan meningkatkan semangat musyawarah untuk menemukan kebenaran dan keadilan dari aneka perbedaan. Ia menilai perbedaan itu muncul karena perbedaan data dan informasi, perbedaan perspektif atau sudut pandang, atau perbedaan kepentingan.
"Ketiganya dapat dipertemukan dengan musyawarah dan pedebatan rasional di ruang sidang untuk kepentingan yang lebih besar yaitu kemajuan peradaban dalam kehidupan berbangsa bernegara," ujar Jimly.
Sumber: tempo