"[Hak angket impeachment presiden] tidak bisa, itu lain lagi. Kalau impeachment, itu [hak] pernyataan pendapat," kata Jimly kepada wartawan di Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin (26/2).
Jimly menegaskan, pernyataan pendapat itu mekanismenya berbeda dengan pengajuan hak angket. Dalam pengajuan hak angket, perlu dilakukan penyelidikan.
"[Hak] angket ini menyelidiki yang ujungnya ialah menemukan pelanggaran hukum, termasuk pidana, sesudah itu laporan ke penegak hukum. Nah, jadi sepanjang menyangkut soal yang tidak terkait pemilu tidak bisa. Tapi sepanjang yang berkaitan dengan pemilu sudah ada beberapa mekanisme," terangnya.
Hak angket, kata Jimly, digunakan untuk membuka penyelidikan. Misalnya, nanti DPR akan memanggil pemerintah untuk menjelaskan hal yang jadi tanggungjawab mereka dalam pelaksanaan pemilu.
"Pertama, pemerintah bertanggung jawab untuk menerbitkan bersama-sama dengan DPR Undang-Undang. Kedua, memastikan anggaran melalui Undang-Undang APBN juga. Nah, yang ketiga, pemerintah terutama sepanjang struktur organisasi KPU, Bawaslu DKPP, pemerintah juga mengeluarkan Perpres dan sebagainya," imbuh dia.
Namun untuk hal-hal yang di luar tanggungjawab pemerintah terhadap penyelenggaraan pemilu, Jimly menegaskan bahwa pemerintah tidak bisa mengambil tanggungjawab KPU.
"Jadi, tidak bisa tanggung jawab KPU itu diambil alih oleh presiden, presiden enggak boleh, enggak bisa mendiktekan keputusan KPU seperti ini, enggak bisa, itu bukan ranah kewenangannya presiden. Jadi kalau nanti pemerintah dipanggil, ya, sepanjang yang menyangkut kewenangan dia aja yang dijawabnya, begitu juga KPU," tandasnya.
Sumber: kumparan