Opsi itu, lanjut mantan ketua MK tersebut, bahkan selalu digunakan DPR di masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Justru di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), hak angket DPR belum pernah digunakan.
”Hak angket oleh DPR mencerminkan berjalannya fungsi checks and balances antarcabang kekuasaan eksekutif versus legislatif,” ujarnya kemarin (25/2).
Karena itu, rencana penggunaan hak angket sebagai proses politik di parlemen harus dilihat secara positif saja. Pendapat tersebut senada dengan yang sebelumnya disampaikan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). JK menyebut hak angket DPR baik untuk kedua pihak (penggugat dan tergugat).
Hak angket, lanjut JK, juga dapat digunakan pihak tergugat untuk melakukan klarifikasi terhadap kecurigaan kecurangan pemilu. Karena itu, JK menyarankan pihak tergugat tidak perlu khawatir jika memang tidak merasa bersalah.
Jimly melanjutkan, meski ada proses di DPR, proses hukum di peradilan seperti di Bawaslu hingga MK harus pula dimanfaatkan untuk menyalurkan aspirasi ketidakpuasan terhadap proses dan hasil pemilu. Dua proses itu sama-sama penting dan punya peran untuk memastikan pemerintahan terpilih legitimate.
Baca Juga: Pandangan JK soal Tidak Perlu Khawatir dengan Wacana Hak Angket Pemilu 2024
Namun, Jimly mengingatkan, anggota DPR harus memahami batas-batas kewenangannya. Jangan sampai melebar dan jadi bola liar. ”Tidak melebar kepada isu-isu liar seperti pemakzulan presiden, pembatalan hasil pemilu, dan lain-lain yang dapat dinilai memenuhi unsur sebagai tindakan makar yang diatur dalam KUHP,” imbuhnya.
Karena itu, tambah dia, aspek jadwal ketatanegaraan yang telah ditentukan benar-benar tidak terganggu. ”Untuk menjamin jangan sampai terjadi kevakuman kekuasaan menurut UUD 1945,” kata mantan ketua Mahkamah Kehormatan MK itu.
Calon wakil presiden nomor urut 3 Mahfud MD menekankan, pelaksanaan pemilu sangat boleh diuji dengan menggunakan hak angket oleh DPR. ”Kalau bolehnya sangat boleh. Ini kan sekarang seakan disebarkan pembicaraan juru bicara-juru bicara untuk mengatakan angket itu tidak cocok. Siapa bilang tidak cocok,” kata Mahfud di Sleman, Jogjakarta, kemarin.
Dia menekankan, angket yang diberlakukan DPR bukan untuk pemilunya. Melainkan untuk kebijakan yang berdasar kewenangan tertentu. Karena itu, yang bisa diangket adalah pemerintahnya.
”Kalau ada kaitan dengan pemilu, boleh kan kebijakan kemudian dikaitkan dengan pemilu,” kata Mahfud.
Mahfud menegaskan, hak angket bukan untuk hasil pemilu. Sebab, hak angket tidak akan mengubah keputusan KPU atau mengubah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memang memiliki jalur sendiri.
Menurut Mahfud, KPU maupun Bawaslu memang tidak bisa dilakukan angket. Tapi, yang dibolehkan untuk dilakukan angket tidak lain pemerintah, termasuk jika itu memiliki kaitan dengan pelaksanaan pemilu.
Terpisah, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono menilai tidak ada urgensi menggulirkan angket. Selain penghitungan masih berlangsung, selisih paslon pemenang dengan lainnya sangat jauh.
”Saya tidak melihat ada sesuatu yang sangat aneh di situ karena memang jaraknya jauh,” ujarnya.
Meskipun, Demokrat menghormati tokoh mana pun yang ingin menggunakan hak konstitusionalnya. Ketimbang angket, AHY berpendapat ada hal lain yang penting. Yakni, merajut kembali rekonsiliasi bangsa sehingga tidak terlalu lama terjebak pascapemilu. AHY berharap delapan bulan ini jadi waktu yang penting untuk mempersiapkan transisi kepemimpinan nasional dan itu harus dikawal dengan baik.
Sumber: jawapos