GELORA.CO - Ribuan mahasiswa memadati pertigaan Gejayan, Sleman, kemarin (12/2) untuk berdemonstrasi. Mahasiswa dari berbagai kampus di Daerah Istimewa Jogjakarta tergabung dalam Aksi Serentak Jaringan Penggugat Demokrasi (Aksi Sejagad).
Mereka berkumpul di bundaran Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta, sebelum berjalan kaki ke pertigaan Gejayan. Para mahasiswa membawa sejumlah poster yang bertulisan berbagai pesan kepada rezim yang berkuasa.
Setiba di pertigaan Gejayan, para mahasiswa berorasi bergantian dengan menggunakan pengeras suara. Selain itu, banner dipasang di salah satu titik.
Pendemo juga membawa tujuh kentongan dan tujuh gentong yang dijadikan sebagai simbol. Nantinya, gentong tersebut dipecahkan para pendemo.
Humas Aksi Sejagad Sana Ulaili menyampaikan, memecahkan tujuh gentong bersimbol agar tujuh ketamakan Presiden Jokowi beserta rezimnya harus betul-betul dienyahkan dan dihancurkan dari muka bumi. Sementara itu, simbol yang jumlahnya tujuh dipetik dari bahasa Jawa, yakni pitu.
Menurut dia, simbol pitu bermakna pitulungan atau pertolongan. ’’Jadi, kami mengajak semua warga negara, terutama para pemilih, untuk berpikir betul-betul dua kali lipat, tiga kali lipat, menjadi pemilih yang tidak hanya kritis, tetapi menjadi pemilih yang berdaulat,’’ bebernya. Dia mengestimasi jumlah pendemo yang hadir mencapai seribu lebih.
Pendemo menilai Presiden Jokowi telah terbukti melanggar konstitusi dan merusak etika demokrasi. Karena itu, mereka menuntut agar Jokowi dihukum dan harus turun dari jabatannya. Tuntutan lain, Undang-Undang Pemilu dan UU Parpol direvisi badan independen. Menurut dia, UU yang sekarang sangat cacat karena diatur sistem oligarki.
Sementara itu, Guru Besar Komunikasi UII Masduki yang turut dalam Gejayan Memanggil menyebut ada sejumlah guru besar dan akademisi lain yang juga berpartisipasi dalam aksi tersebut. Dia mengatakan ikut bergabung sebagai bentuk keprihatinan.
Masduki menambahkan, dirinya dan rekan profesinya merupakan penyintas dari rezim yang menerapkan otoritarianisme. Tetapi, dengan model-model digital.
Lebih parahnya lagi, bahkan melalui stigmatisasi. Tidak hanya itu, sekarang ada diksi yang menyebutkan apabila guru besar di kampus kritis itu sebagai partisan. Masduki menilai, guru besar yang kuat dengan komitmen moral keprihatinan akan jalan terus.
’’Bahkan seharusnya bergabung di sini karena ini momentum mahasiswa, guru besar, dan dosen-dosen, para akademisi itu turun menyampaikan bahwa demokrasi (di negeri ini) sedang bermasalah,’’ imbuhnya.
Masduki mengungkapkan, ada tiga indikator kemerosotan demokrasi dewasa ini. Pertama, kebebasan berekspresi mengalami tekanan yang luar biasa. Kedua, ada indikasi penyanderaan partai kaitannya untuk ketamakan kekuasaan yang ingin melanjutkan kekuasaan. Ketiga, pergantian kepemimpinan secara rutin lima tahunan bergilir tidak mengenal politik dinasti.
Sumber: jawapos