Mereka dituding menghalang-halangi proses pembangunan Bandara VVIP Ibu Kota Nusantara (IKN) dan membawa senjata tajam.
Masing-masing adalah Kamaruddin, Ramli, Rommi Rante, Piter, Sufyanhadi, Muhammad Hamka, Daut dan Abdul Sahdan. Mereka merupakan warga Kelurahan Pantai lango, Gersik dan Jenebora.
Agustina kakak dari Kamaruddin mengaku tidak terima dengan perlakuan aparat kepolisian. Sebab polisi melakukan penangkapan secara tidak manusiawi. Menurut Agustina, penangkapan itu tidak membawa surat perintah penangkapan dan para petani ditangkap seperti penjahat teroris.
“Sembilan orang itu bukan penjahat, mereka hanya petani sawit yang mencari makan dari kebun. Ada anak istri yang harus dinafkahi, tapi polisi menangkap seperti penjahat narkoba atau teroris begitu. Tidak ada surat penangkapan juga,” kata Agustina (25/2/2024).
Diceritakan Agustina, kronologi kejadian bermula saat kelompok tani dijanjikan adanya ganti untung lahan dari Perkebunan sawit mereka. Lahan mereka akan dijadikan lokasi pembangunan Bandara VVIP IKN. Mereka tidak menolak adanya ganti untung itu, namun mereka meminta ada perhitungan penggantian yang sebanding dengan jumlah sawit yang sudah tumbuh.
Perhitungan itu dijadwalkan pada hari ini, Minggu (25/2/2024) dan akan diverifikasi oleh dinas Perkebunan setempat bersama warga dan dikawal oleh TNI serta aparat kepolisian. Namun pada tanggal 24, para petani mendatangi lokasi kebun mereka untuk menebas rumput. Di sana tidak ada pegawai Bank tanah maupun dinas terkait. Hanya ada TNI dan beberapa polisi yang berjaga.
Setelah selesai menebas ladang, para petani kembali ke Jenebora untuk makan bersama. Mereka berencana membakar ikan, dan diskusi untuk proses verifikasi esok hari. Namun, sebelum makan, tiba-tiba ada 7 mobil berisi puluhan polisi datang menyergap mereka.
“Kami ini hanya petani, tanah itu sudah ada sejak saya kecil. Saya masih usia 3 tahun digendong pakai anjat oleh almarhum ibu saya ke kebun. Tanah milik kami bukan lahan eks PT TKA,” kata Agustina.
Pada proses penangkapan, lanjut dia, polisi tidak memberi keterangan apapun. Penangkapan terjadi secara cepat dan para petani diperlakukan kasar. “Adik saya ditangkap seperti seorang teroris, lehernya dipeteng dan ditangkap paksa. Tidak manusiawi, harusnya Pak Jokowi tolong kami. Mereka hanya petani sawit,” sebutnya,
Ditambahkan Agustina, informasi dari pengacara yang ditunjuk, 9 orang tersebut langsung ditetapkan sebagai tersangka. Dengan tuduhan membawa senjata tajam untuk menghalang-halangi proses verifikasi tanam tumbuh dan pematangan lahan bandara VVIP IKN.
“Tolong mereka, mereka tidak membawa senjata tajam. Mereka Cuma mau makan. Mereka juga tidak mengancam siapapun. Info dari pengacara, mereka sudah ditetapkan sebagai tersangka dan dituduh mengancam dengan senjata tajam,” paparnya.
Sementara itu, Viva.co.id berupaya menghubungi Kepala Polisi Resort (Kapolres) PPU AKBP Supriyanto. Namun hingga kini Supriyanto belum dapat dikonfirmasi.
Sumber: viva