Beberapa waktu belakangan, sejumlah pimpinan lembaga terlibat kasus etik. Berujung sanksi teguran, pencopotan dari jabatan, hingga pemberhentian.
Mulai dari Ketua MK Anwar Usman, Ketua KPK Firli Bahuri, hingga Ketua KPU Hasyim Asy'ari. Ketiga ketua itu terbukti melanggar etik.
Anwar Usman
Anwar Usman dinyatakan melanggar etik terkait Putusan MK Nomor 90 yang kontroversial yang mengubah syarat capres-cawapres. Akibat putusan tersebut, syarat dalam Undang-Undang Pemilu itu berubah sehingga memungkinkan Gibran Rakabuming Raka maju sebagai cawapres.
Anwar Usman dinilai berkonflik kepentingan saat memutus putusan tersebut. Sebab dia adalah paman Gibran Rakabuming Raka.
Anwar Usman dinyatakan melanggar etik berat berdasarkan sidang yang digelar oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) pada 7 November 2023. Ia dinilai melanggar prinsip ketakberpihakan, prinsip integritas, prinsip kecakapan dan kesetaraan, prinsip independensi, dan prinsip kepantasan dan kesopanan.
Atas perbuatannya, Anwar Usman dijatuhi dua sanksi. Pertama, dicopot dari posisi Ketua MK. Namun ia masih tetap berstatus Hakim MK.
Kedua, tidak diperkenankan lagi menyidangkan perkara Pemilu yang berpotensi konflik kepentingan.
Namun, MKMK memutuskan tidak memberikan sanksi pemberhentian bagi Anwar Usman. Meski hal itu dimungkinkan secara aturan.
Ketua MKMK yang menjatuhkan vonis, Jimly Asshiddiqie, menyebut alasannya bahwa bila Anwar Usman diberhentikan dengan tidak hormat maka ada kesempatan mengajukan banding. Sementara Majelis Banding MK tidak ada. Ini yang kemudian dianggap akan memunculkan ketidakpastian hukum.
Terkait putusan itu, Anwar Usman menyatakan tidak pernah melanggar etik. Saat ini, ia sedang melakukan perlawanan dengan mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta.
Ia meminta posisinya sebagai Ketua MK dikembalikan. Saat ini, posisinya sebagai Ketua MK digantikan oleh Suhartoyo. Sidang masih bergulir di PTUN.
Firli Bahuri
Firli Bahuri dinyatakan melanggar etik terkait kasus dugaan korupsi mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) yang ditangani KPK. Purnawirawan jenderal polisi itu diduga cawe-cawe dalam proses hukum terhadap politikus NasDem itu.
Dewas KPK menyatakan Firli Bahuri terbukti melanggar kode etik dalam sidang yang digelar pada 27 Desember 2023. Firli Bahuri dijatuhi sanksi berat berupa pengunduran diri dari KPK.
Dalam putusannya, Dewas KPK menilai Firli Bahuri terbukti melakukan komunikasi dengan SYL selaku Menteri Pertanian. Padahal SYL sedang berkasus di KPK.
Komunikasi itu dilakukan dalam bentuk pertemuan langsung maupun melalui pesan singkat. Pertemuan terjadi di rumah di Bekasi maupun di GOR bulu tangkis di kawasan Jakarta Barat.
Sementara untuk komunikasi chat, tercatat ada beberapa kali. Termasuk ketika SYL sedang berada di luar negeri, saat KPK sudah menetapkannya sebagai tersangka.
Ada setidaknya lima komunikasi Firli dengan SYL melalui aplikasi WhatsApp sejak Mei 2021 hingga Juni 2022. Serta pertemuan yang salah satunya di rumah Kertanegara nomor 46 pada 12 Februari 2021.
Selain itu, pelanggaran etik lain Firli Bahuri ialah tidak jujur mengisi LHKPN. Bahkan sejak pertama menjabat Pimpinan KPK pada 2019.
Aset yang tidak dilaporkan Firli Bahuri ialah kepemilikan uang tunai hasil konversi valas senilai Rp 7,8 miliar serta mengenai sewa rumah di Kertanegara Nomor 46.
Atas perbuatan itu, Firli Bahuri dinyatakan bersalah melanggar etik. Dewas KPK menjatuhkan sanksi berat yakni meminta Firli mengundurkan diri.
Pada saat sidang etik bergulir, Firli sudah mengajukan pengunduran diri ke Presiden Jokowi. Namun belakangan, Jokowi menerbitkan Keppres pemberhentian Firli dengan mendasarkan pula pada keputusan Dewas KPK itu.
Secara terpisah, perbuatan Firli Bahuri itu juga sedang diusut secara pidana. Firli Bahuri sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya. Prosesnya masih dalam tahap penyidikan.
Terkait kasusnya, Firli Bahuri mengaku tidak pernah memeras SYL. Ia sempat mengajukan praperadilan atas status tersangkanya tetapi gugur.
Hasyim Asy'ari
Ketua KPU Hasyim Asy'ari dinilai terbukti melanggar etik oleh DKPP. Terkait proses perubahan PKPU imbas putusan MK.
Awalnya, para Komisioner KPU dilaporkan karena telah menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai Bakal Calon Wakil Presiden pada tanggal 25 Oktober 2023.
Menurut para pengadu, hal itu tidak sesuai dengan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden karena para komisioner KPU itu belum merevisi atau mengubah peraturan terkait pendaftaran capres-cawapres setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Para komisioner KPU ini disebut membiarkan Gibran Rakabuming Raka terus menerus mengikuti tahapan pencalonan tersebut padahal telah jelas-jelas melanggar prinsip berkepastian hukum.
Dalam PKPU Nomor 19 Tahun 2023, capres-cawapres harus berusia minimal 40 tahun — sedang Gibran kala itu berusia 36 tahun.
KPU baru melakukan konsultasi dengan DPR dan Pemerintah terkait usulan rancangan perubahan PKPU pada 31 Oktober 2023 atau lima hari setelah Prabowo-Gibran mendaftar. PKPU baru yang sudah direvisi baru diundangkan pada 3 November 2023.
Usai putusan MK, KPU hanya menerbitkan Surat Nomor 1145/PL.01-SD/05/2023 perihal Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tertanggal 17 Oktober 2023. Pada pokoknya meminta partai politik memedomani putusan MK dalam tahapan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden 2024.
KPU baru mengirimkan surat permohonan konsultasi kepada DPR pada tanggal 23 Oktober 2023 atau 7 hari setelah putusan MK. Berdalih karena DPR sedang dalam masa reses.
Namun DKPP berpendapat bahwa dalih tersebut terbantahkan. Sebab, dalam masa reses, dapat dilakukan Rapat Dengar Pendapat.
Dalam putusannya, DKPP menilai Hasyim Asy’ari tidak sesuai dengan tata kelola administrasi tahapan pemilu. KPU seharusnya segera menyusun rancangan perubahan PKPU Nomor 19 Tahun 2023 sebagai tindaklanjut Putusan MK. Kemudian melakukan konsultasi dengan DPR dan Pemerintah.
Atas perbuatannya, Hasyim Asy'ari dkk dinilai terbukti melanggar etik. Ketua KPU RI dkk dijatuhi sanksi peringatan keras terakhir.
Ini merupakan kali kedua Hasyim disanksi etik oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Sanksi etik pertama dijatuhkan DKPP pada April 2023. Kala itu, Hasyim diduga melanggar kode etik karena pergi dengan Ketum Partai Republik Satu, Hasnaeni, ke Yogyakarta.
Atas putusan itu, Hasyim menyebut sudah menjadi risiko KPU sebagai penyelenggara Pemilu. Hasyim mematuhi semua putusan DKPP. Menurut dia, tugasnya hanya memberikan penjelasan dari apa yang ditanyakan.
Dalam kasus Hasnaeni, Hasyim dijatuhi sanksi peringatan keras terakhir. Kali ini, ia juga disanksi peringatan keras terakhir.
Sumber: kumparan