Direktur Bisnis Perum Bulog Febby Novita mengatakan, kini sedang terjadi fenomena peralihan sumber pangan masyarakat dunia. Dari yang sebelumnya masyarakat di negara-negara barat mengonsumsi gandum, namun mulai beralih makan nasi.
"Eropa ikutan borong beras di Thailand, Vietnam. Ini menarik. Kami turunkan tim ke sana, (ternyata) banyak yang beli dari Eropa," ujar Febby di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, Rabu (28/2/2024).
Dia menerangkan, di satu sisi anomali iklim yang tengah melanda beberapa negara di dunia seperti El Nino yang sudah mulai terjadi pada pertengahan 2023 juga menyebabkan produksi beras di beberapa negara mengalami penurunan. Alhasil, kebutuhan yang meningkat itu harus berebut beras di pasar internasional dan membuat harganya melonjak.
"Karena tadi biasanya dia makan gandum, sekarang makan beras. Biasanya makan roti jadi makan beras. Dampak itu mulai terasa sekarang," sambung Febby.
Menurutnya, berkurangnya produksi beras di banyak negara akibat anomali cuaca. Hal itu akhirnya membuat setiap negara mengamankan terlebih dahulu ketersedian pangan di dalam negeri dan membatasi impor keluar.
Indonesia yang juga importir beras mau tidak mau harus menerima dampak dari adanya fluktuasi harga beras tersebut.
"Dampak El Nino juga terasanya sekarang juga. Di beberapa wilayah juga bukan hanya panas, tapi beberapa daerah juga banyak yang terendam banjir. Dampak dari India (pembatasan ekspor) ini cukup signifikan orang mengamankan secure stock masing-masing dari beberapa negara," pungkasnya.
Sebelumnya, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi menyebutkan harga beras dunia saat ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan menjadi USD670 per ton, dari harga sebelumnya USD460 per ton.
"Ini semuanya akan di-adjust menjadi harga pokok produksi, kalau naik artinya harga naik tetapi yang paling penting adalah menjaga daya beli masyarakat," kata Arief saat ditemui MNC Portal di Pasar Cipinang, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Sumber: idx