Ketua Umum Barisan Rakyat Indonesia Kawal Demokrasi (Barikade) 98, Benny Rhamdani mengatakan, para aktivis ingin menjaga sakralitas istana, sebagai simbol kedaulatan rakyat.
Menurut dia, istana tak boleh dimasuki oleh orang yang cacat sejarah, cacat kejahatan kemanusiaan, cacat moral.
"Kami akan jaga, kami akan barikade," ujar Benny kepada wartawan di sela kegiatan aksi masa.
Pelanggar HAM yang dimaksud Benny dan para aktivis, ialah Prabowo Subianto. Mereka tak ingin Prabowo memasuki Istana Negara, memimpin bangsa, usai memenangkan Pemilu Presiden (Pilpres) 2024. Sebab, Prabowo telah melakukan tindak pidana pelanggaran HAM.
"Prabowo dinyatakan melakukan tindak pidana dalam keputusan Dewan Kehormatan Perwira, ada 10 poin, di butir c dikatakan Prabowo melakukan tindak pidana penghilangan kemerdekaan dan penculikan kepada aktivis yang dilakukan oleh satgas Tim Merpati dan satgas Tim Mawar yang dipimpin oleh Prabowo," papar Benny.
Meski sudah dinyatakan bersalah oleh internal TNI, lanjut dia, Prabowo tak diproses secara hukum. Negara, kata Benny seakan-akan dibuat takluk oleh mantan Danjen Kopassus itu.
"Hingga hari ini, hukum tidak pernah menyentuh Prabowo. Rekomendasi DPR sudah dikeluarkan, rekomendasi Komnas HAM juga sudah dilakukan. Tapi, negara seolah-olah takluk kepada seorang Prabowo," tutur Benny.
Para aktivis, kata dia, menuntut agar dibentuknya peradilan HAM ad hoc untuk mengadili Prabowo. Pihaknya tak ingin Prabowo maupun pelanggar HAM lainnya, diberikan impunitas atau pembebasan dari hukuman.
Jika Prabowo ngotot untuk tetap berkuasa melalui jalur pemilu, menurut Benny, Reformasi '98 jilid II bisa terulang kembali.
"Kita ingin memberi pesan, siapa sangka diktator Soeharto, 32 tahun memerintah itu bisa ditumbangkan rakyat. Padahal, Soeharto didukung kekuatan militer saat itu," tutur Benny.
Karenanya, sambung dia, ketika Prabowo memaksakan diri, dia telah menyulut sumbu revolusi, yang akan lahir dari kekuatan rakyat dan kekuatan mahasiswa. Pihaknya meyakini, Reformasi '98 jilid II atau revolusi sosial akan kembali terjadi.
Para aktivis sendiri sempat bergabung dengan Aksi Kamisan, atau aksi yang dilakukan setiap hari Kamis di depan Istana Negara yang dilakukan korban pelanggaran HAM di Indonesia.
Mereka bersama dengan Maria Catarina Sumarsih, ibu dari mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas saat Tragedi Semanggi I, Benardinus Realino Norma Irawan.
Sumarsih yang sudah 17 tahun menuntut keadilan atas kematian putranya itu, sepakat bahwa pengadilan HAM ad hoc harus segera dibentuk.
"Kalau memang Presiden Jokowi ini adalah seorang reformis sejati seharusnya Presiden Jokowi segera menerbitkan perpres pembentukan pengadilan HAM ad hoc," ujarnya.
Pembentukan pengadilan HAM ad hoc ini, guna menuntaskan seluruh peristiwa pelanggaran HAM di Indonesia, khususnya yang terjadi pada tahun 1998.
“Pengadilan HAM ad hoc untuk Semanggi I, Semanggi II, dan juga kasus aktivis '98 yang sudah diselidiki oleh Komnas HAM yaitu dalam kasus penghilangan orang secara paksa, penculikan dan kerusuhan 13-15 Mei 1998," tandasnya.
Sebelum mendatangi Istana, para aktivis sempat berziarah ke makam Pahlawan Reformasi atau korban dari Tragedi Trisakti di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan, Kamis pagi. Mereka nyekar ke makam Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie.***
Sumber: pojoksatu