OLEH: BAMBANG PRIONO*
SEPANJANG masa kampanye Pilpres 2024 di berbagai daerah yang dikunjungi, sambutan rakyat pada Calon Presiden Anies Rasyid Baswedan, di luar dugaan. Massa membludak.
Di Deli Serdang pada Kamis (1/2), massa sudah tidak terbendung sejak keluar dari Bandara Kualanamu hingga ke Lapangan Reformasi di Deli Serdang, lokasi kampanye, yang berjarak sekitar 15 km.
Anies dan Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, bahkan terpaksa jalan kaki sekitar dua kilometer untuk mencapai lokasi yang dipadati sekitar 200 ribu orang. Antusiasme dan histeria massa juga terjadi saat Anies berkampanye di Jawa Barat, Sumatera Barat, Kalimantan, Ambon, Papua, Sulawesi, Jawa Timur, Jawa Tengah, Manado, dan hampir setiap tempat.
Di jalan-jalan, massa rela menunggu beberapa jam untuk melihat Anies. Tidak jarang Anies berhenti, menyalami, dan berfoto dengan massa di pinggir jalan. Mereka masyarakat umum, lintas suku, dan agama. Mereka terlihat bahagia setelah bertemu idolanya.
Di beberapa tempat, saya menyaksikan antusiasme masyarakat itu. Suasana yang tidak terbayangkan, seperti luapan rasa cinta, kerinduan, kehangatan, juga kerelaan. Di tepi jalan, ibu-ibu meneriakkan, “Anies Presiden....”
Begitu juga dalam acara Desak Anies di berbagai kota besar Indonesia. Anak-anak muda dan mahasiswa tumpah-ruah. Desak Anies merupakan format baru kampanye dalam sejarah politik Indonesia.
Anies berdialog dengan pemuda dan mahasiswa secara bebas tanpa batas formal. Pertanyaan apa saja dijawab Anies. Kemampuan berdialog, berdebat, dan kualitas intelektual, memudahkan mantan Rektor Universitas Paramadina ini untuk menjawab berbagai pertanyaan kritis.
Kecerdasan emosional dan intelektual, mendekatkan Anies pada anak-anak muda Generasi Z. Ia menjadi model baru seorang pemimpin yang mengayomi. Model seorang ayah yang dekat dengan anak-anaknya, mendidik, santun.
Ia juga sebagai sahabat, pendengar yang baik terhadap keluhan, keresahan publik. Anies memberi solusi, semangat, dan kekuatan baru.
Seperti umumnya orang seusianya, Anies gagap sosial media, tidak seperti anak-anak muda Generasi Z. Ketika pertama sekali live TikTok, Jumat, 29 Desember 2023, Anies tidak paham mematikan media sosial yang sedang trend itu. Tapi justru ini kelebihannya ?" suatu yang alami dan manusiawi.
Melalui live TikTok tersebut, Anies berinteraksi dengan anak-anak muda di seluruh Indonesia, tanpa membedakan latar belakang sosial mereka.
Berbagai pertanyaan Tiktokers dijawab Anies dalam bahasa yang mudah dimengerti dan bahkan persoalan personal, di antaranya tentang jodoh, minta ucapan selamat ulang tahun, minta didoakan segera selesai kuliah, menanyakan buku yang sebaiknya dibaca, dan juga resep sebagai pemimpin.
Di kalangan netizen, Anies tidak saja sosok calon presiden, tapi juga orang tua. Jutaan penonton yang hadir dalam dialog tiktok tersebut, tidak saja terhibur, namun juga mendapatkan ilmu.
Penggemar K-Pop, kemudian memanggil Anies dengan sebutan Abah. Dalam tempo cepat, tagar #AbahNasional menjadi trending di platform Twitter (X) melalui akun netizen dengan nama @aniesbubble, yang menyebarkan potongan video Anies di TikTok.
Penggunaan kata bubble terinspirasi dari platform yang dipakai penggemar idola K-Pop. Potongan-potongan video Anies yang diunggah @aniesbuble merupakan interaksi tanya-jawab dari penonton yang menyaksikan siaran langsung, tidak ada soal visi-misi dan janji politik.
Pada Jumat (29/12) akun @aniesbubble di X yang menggunakan emoji burung hantu dan memakai bahasa Korea.
Munculnya fandom K-pop berupa akun @aniesbubble itu sangat menarik perhatian netizen. Uniknya, akun ini murni inisiatif penggemar K-Pop, tidak terkait dengan tim Capres Anies-Muhaimin. Ini menarik media internasional, sebagai fenomena baru Indonesia.
BBC News pada 4 Januari 2024, mewawancarai pemilik akun @aniesbubble, menanyakan alasan membuat akun @aniesbubble.
Anak muda, mahasiswi salah satu universitas ini, mengatakan semua berawal dari iseng. Mereka tidak dibayar, bahkan mereka mengumpulkan dana membuat videotron dan foodtruck.
Panggilan Abah pada Anies Baswedan menyebar cepat ke seluruh Indonesia, tidak hanya di sosial media, tapi juga di masyarakat umum. Dalam berbagai kunjungan, di antaranya di Sorong, Batam, Banten, dan Medan, masyarakat memanggil nama Abah. “Abaaaah, foto Abaaaah ...”
***
Anies Rasyid Baswedan adalah medan magnet, yang dengan cepat menarik partikel. Kecerdasan, kematangan emosional, prestasi, kesantunan, dan kharisma, merupakan daya tarik sangat kuat. Tidak banyak tokoh seperti itu.
Ini hanya dapat dilakukan oleh mereka yang ikhlas. Hati dan jiwa yang bersih mampu menggerakkan hati dan akal sehat. Ini tidak bisa dibuat-buat, apalagi disengaja untuk meraih simpati. Ia datang dari dalam.
Posisi tegas Anies dan Muhaimin dalam kontestasi pilpres, yakni perubahan, juga menjadi magnet lain bagi publik. Ini disebut Firewall ?"pagar api yang membedakannya dengan dua kontestan lain, terutama Prabowo Subianto-Gibran, yang mengambil posisi sebagai penerus kebijakan Presiden Jokowi saat ini.
Anies merasakan penguasa tiada henti menekannya jauh sebelum Pilkada DKI Jakarta 2019. Tekanan semakin keras ketika Anies meraih posisi Gubernur DKI Jakarta. Ia seperti sansak, di-bully dan difitnah.
Anies berkali-kali pula berurusan dengan KPK, meski sama sekali tidak ditemukan kesalahannya. Sebelum pendaftaran calon presiden, ramai isu yang menyebutkan Anies akan dijadikan tersangka. Ada yang bertaruh mobil Alphard bahwa Anies tidak akan bisa mendaftarkan diri sebagai capres.
Karakter Anies coba dihancurkan dan dibunuh. Pada masa kampanye Pilpres, Anies juga dipersulit. Lokasi kampanye yang sudah disepakati, tiba-tiba tidak bisa digunakan dengan berbagai alasan.
Rakyat tidak buta informasi dan politik. Berbagai upaya menggagalkan Anies sampai pada mereka. Tidak itu saja, dalam skala berbeda mereka juga merasakan situasi yang tidak nyaman.
Tekanan aparat untuk tidak memilih Anies, juga pada Capres Ganjar Pranowo-Mahfud MD, memicu ketidaksukaan mereka pada penguasa. Mereka merasakan hak-hak konstitusional, kebebasan memilih yang diatur konstitusi, telah dilanggar.
Situasi ini terasa setelah munculnya politik dinasti, pemihakan, dan ketidakadilan yang terbuka. Ketika demokrasi tidak lagi menjadi jalan dalam hidup bernegara, hukum jadi alat kekuasaan, hak-hak rakyat dipinggirkan, maka akal sehat akan muncul.
Hari-hari akhir ini menjelaskan, kalangan intelektual, pers, dan kampus ?" dengan akal sehat ?" memperlihatkan sikap yang tegas, mengkritisi pemerintah berkuasa dan mendesak Presiden Jokowi kembali ke jalur demokrasi.
Kondisi politik saat ini dalam ruangan pengap. Kalangan intelektual, kampus, dan pers telah menemukan jalannya, melepaskan diri dari ruang pengab, mengembalikan demokrasi yang diperjuangkan ketika menumbangkan Orde Baru.
Berbeda dengan kalangan intelektual, rakyat tanpa suara mengusung perubahan. Mereka hadir berbondong-bondong dalam setiap kampanye. Ini dapat pula dilihat sebagai bentuk keinginan untuk perubahan itu. Dan mereka menyatukan diri dengan pembawa bendera perubahan.
Anies pembawa bendera perubahan tersebut. Antusiasme publik dengan berbagai latar belakang sosial budaya, dan agama, menjadikan Anies sebagai tumpuan perubahan. Ia telah menjadi milik rakyat ?" pemimpin rakyat yang tertekan, bukan pemimpin yang dibesarkan oligarki.
Pemilihan presiden menghitung hari. Belum diketahui siapa pemenangnya. Namun di banyak wilayah Indonesia, rakyat dengan suara lantang memekikkan, “Anies Presiden, Kami bersama Anies....”
*(Penulis adalah Doktor Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin Makassar)